Oleh: Dasep Juarsa Peneliti Global future Institute
10-09-2009
Suku Amungme Papua Menggugat PT. Freeport US $ 30 Milyar, Kesadaran warga Papua terhadap imperialisme ekonomi Amerika mulai bangkit dan menemukan modus operandi yang efektif untuk menghadapinya. Melawan ketidakadilan melalui gugatan hukum. Masyarakat Adat Suku Amungme yang diwakili 92 pemilik hak ulayat telah mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Klas IA Jakarta Selatan kepada PT. Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini Departemen ESDM dan PT. Indocopper Investama, selaku pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan tambang tembaga di Timika, Papua. Total tuntutan ganti ruginya sebesar US$ 30 miliar. Berkas gugatan bernomor perkara 1247 didaftarkan 27 Mei 2009, gugatan perkara itu telah digelar 6 Agustus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain menggugat PT Freeport, suku Amungme juga menggugat Pemerintah Indonesia, PT. Indocopper Investama, dalam hal ini Gubernur Papua sebagai tergugat I dan Bupati Mimika tergugat II.
Majelis Hakim yang dipimpin Suharto memberikan waktu kepada kedua belah pihak untuk melakukan mediasi. Dalam hal ini Suharto menunjuk hakim Ahmad Yusak sebagai mediator. Hakim Suharto memberikan waktu selama 20 hari pada kedua belah pihak untuk melakukan negoisasi yang difasilitasi oleh Pertambangan RI. Namun jika dalam 20 hari tersebut tidak menghasilkan kesepakatan atau gagal maka perkara akan dilanjutkan tanggal 15 September mendatang.
Titus Natkime selaku wakil suku Amungme sekaligus kuasa hukum suku Amungme marasa pesimis mediasi itu akan berjalan lancar. Laki-laki kelahiran Waa Tembagapura 12 Juli 1975 ini berpendapat kalau para tergugat (kuasa hukum) tidak tahu-menahu kondisi sebenarnya di wilayah Amungme. "Mereka kuasa hukum PT. Freeport itu tidak mengetahui kondisi sosial masyarakat yang sebenarnya. Gugatan ini dilayangkan agar pihak tergugat membayar kerugian atas pelanggaran HAM dan hak tanah masyarakat Amungme seluas 2.685.00 yang hilang,” papar Titus.
Titus menjelaskan panjang lebar soal keberadaan PT. Freeport yang menurut dia telah menghancurkan hak tanah Ulayat miliknya. Jadi tidaklah salah bila masyarakat adat Amungme menuntut ganti rugi sebesar US$ 30 miliar. ”Kami menuntut ganti rugi sejak 1967 sampai 2009 ini,” papar Titus.
Gugatan sebesar US$ 30 miliar itu dihitung sejak PT. Freeport beroprasi di tanah Ulayat milik suku Amungme di Tembagapura. Titus pun menyebutkan sebelum melayangkan gugatan, Pimpinan PT. Freeport McMoran yang diwakili James Moffett telah melakukan negoisasi dengan suku adat. Sayangnya, dalam perundingan itu tidak ada titik temu.
“Makanya, kami menggugat mereka lewat pengadilan negeri ini. Selain itu, mereka juga harus bayar ganti rugi selama beroprasi di wilayah tanah milik suku Amungme,” papar Titus.
Laki-laki lulusan Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) Bandung Jawa Barat ini memaparkan kalau tuntutan masyarakat pemegang hak Ulayat atas tanah kepada para tergugat ini berkenaan dengan pelanggaran HAM dan penggunaan hak Ulayat masyarakat suku Amungme, Timika atas tanah 2.610.182 hektar yang digunakan PT. Freeport Indonesia sebagai lahan pertambangan.
“Sejak 1967 masyarakat suku Amungme sudah tidak dapat menggunakan tanah yang menjadi hak Ulayat mereka karena telah dijadikan sebagai areal Kontrak Karya dari PT. Freeport Indonesia,” paparnya.
Penguasaan lahan tidak sah lantaran tidak pernah mendapat persetujuan dari masyarakat adat. Titus menuding PT. Freeport telah malakukan pencabutan secara paksa atas hak tanah Ulayat, walalupun ada partisipasi PT. Freeport untuk kesejahteraan masyarakat tetapi semua itu tidak sebanding dengan apa yang PT. Freeport dapatkan bahkan jauh dari keadilan.
Titus memperkirakan, keuntungan yang didapatkan PT. Freeport mencapai US$ 9,50 miliar per tahun. Sementara suku Amungme sebagai pemilik lahan jauh dari kesejahteraan. Seharusnya Suku Amungme sebagai pemilik lahan terdaftar sebagai pemegang saham. Kakayaan alam yang dimiliki suku Amungme tidak membuat masyarakat Amungme sejahtera.
Menurut Titus Perusahaan Raksasa ini diduga turut serta aktif dalam proses pemusnahan etnis Papua. Hal ini terlihat dalam pengalaman hidup orang Papua. Selama 40 tahun, sejak 1967, dimana secara illegal PT. Freeport Indonesia mulai beroprasi di tanah Papua dengan memakai Izin usaha yang diterbitkan pemerintah Indonesia padahal Papua belum ditetapkan sebagai wilayah NKRI melalui referendum 1969.
“Untuk itu, mulai saat ini mari kita buka apa yang terjadi di Papua, terutama suku Amungme. Ketidak adilan, bebodohan dan kemiskinan tumbuh subur, padahal tanah adat yang mereka miliki mengandung kekayaan yang melimpah yang seharusnya bisa mereka dinikmati,” katanya.
Mindo Pangaribuan juru bicara PT. Freeport gugatan yang dilayang masyarakat Papua bukan hanya sekali ini saja hasilnya pun selalu dimenangkan oleh PT. Freeport.
Mindo mengatakan seperti yang dilansir majalah Ombudsman Indonesia Edisi Agustus lalu menjelaskan telah mentaati prosedur hukum dan perundang-undangan serta beroprasi sesuai dengan kontrak karya PT. Freeport ditunjuk sebagai kontrak tunggal atas wilayah Kontrak Karya (KK) dan mandapat hak tunggal melakukan pertambangan di wilayah tersebut.
Bahkan Mindo mengatakan PT. Freeport telah mengucurkan dana perwalian kepemilikan sejak tahun 2001 untuk suku Amungme dan berakhir 2008 dengan nilai US$ 27 juta, namuan Titus membantah, menurutnya dana yang dikucurkan PT. Freeport itu bukan dana ganti rugi atas kepemilikan hak atas tanah Ulayat, “yang kami tuntut itu dana ganti rugi atas kepemilikan tanah adat,” ujar Titus.
Ini pertama kalinya rakyat adat Amungme mengguggat PT. Freeport di pengadilan Indonesia atas segala dampak beroperasinya perusahaan tambang tembaga dan emas tersebut. "Tahun 1997 Tom Beanal, Papua pernah menggugat PT Freeport di luar negeri namun kalah," katanya.
Gugatan sebesar US$30 miliar tersebut, jelas Titus, seimbang dengan hasil yang didapat oleh PT Freeport dari penambangan yaitu sekitar 27 juta dollar AS per hari. "PT Freeport Indonesia, pemerintah, dan PT. Indocopper Investama harus tanggung renteng untuk membayar kerugian dari pelanggaran HAM dan Lingkungan Hidup," tegasnya.
Pelanggaran HAM melingkupi :
- Ketidak Adilan
- Keterbelakangan
- Kemiskinan
- Kebodohan
- Diskriminasi dan
- Pemerkosaan hak adat
Sementara dari lingkungan Hidup Melingkupi:
- Hak pakai
- Pengakuan Terhadap tanah adat
- Kerusahan dan
- Sewa
PT. Freeport Harus Transparan
Gubernur Papua, Barnabas Suebu, SH menyatakan PT. Freeport harus transparan dan terbuka karena semua yang telah dilakukan selama ini akan terlihat, tertangkap dan terbukti, tinggal menunggu waktu saja.
Tahun 1967 adalah tahun-tahun sosialisasi PT. Freeport bisa mambuat apa saja yang dia mau di areal penambangan emas dan tebaga ini. “Tetapi d itahun-tahun terakhir ini dimana sulit mengatasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang terbuka untuk membuka kedok penipuan dan kelicikan,“ ungkapnya.
Barnabas menambahkan, teknologi informasi dan keunikasi ini akan terus berkembang untuk membuka kejahatan kemanusiaan yang selama ini tersembunyi. Masyarakat adat suku Amungme memiliki hak atas tanah Ulayat yang belum dibayar sampai sekarang ini. Masyarakat adat Amungme memiliki hak 1% royalty atas tanah miliknya PT. Freeport harus segera membayar melalui Bupati-Bupati di sekitar areal panambangan emas dan tembaga.
“Ada dugaan ditransper langsung ke rekening pribadi, tidak termasuk kedalam anggaran pembangunan masyarakat, dan janji-janji lain yang tidak dilaksanakan secara adil dan professional,” kata Barnabas.
Belum lagi tuntutan pembayaran saham 10% dari keuntungan besih. Semua ini harsu terbuka dan segera diselesaikan secara transparan. PT. Freeport Indonesia harus meninta maaf kepada masyarakat adat Amungme dan Kamaro juga kepada seluruh masyarakat Papua demi kebersamaan demi keadilan dibumi yang kita cintai ini, ungkapnya.
“Apa yang telah terjadi puluhan tahun lalu tidak ada alasan ditutup-tutupi yang harus dipikirkan saat ini bagaimana merubah masa depan masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya suku Amungme yang masih jauh dari kesejahteraan. Sebenarnya masyarakat Amungme lebih sejahtera dibanding masyarakat lain karena pemegang hak ulayat yang menghasilan juta dolar per hari”, imbuh Barnabas.
Janji-Janji PT. Freeport
Sekedar mengingatkan, pada tanggal 27 Juli 2001 suku Amungme pernah mengajukan somasi terhadap PT. Freeport Indonesia, sebelum tuntutan itu berlanjut di pengadilan dengan cara sepihak PT. Freeport Indonesia membujuk masyarakat Amungme selaku pengguna untuk mencabut gugatan tersebut.
Atas permohonan PT. Freeport itu Masyarakat suku Amungme dan Komoro berangkat ke New Orleans Amerika serikat dengan mengajukan penawaran membeli sebagian saham PT. Freeport. PT. Freeport bersedia memberikan dana perwalian kepada Masyarakat pemilik ulayat sebesar $ 1. 000.000 pertahun dan $ 500.000 pertahun kepada suku Komoro.
Dana perwalian tersebut diambil dari 1% penghasilan kotor PT. Freeport. Namun dana yang di janjikan PT. Freeport tersebut sampai saat ini tidak jelas. Pada akhirnya masyarakat suku Amungme dan Komoro masih tetap miskin.
Pada tanggal yang sama telah terjadi kesepakatan penandatanganan antara PT. Freeport dengan 3 desa. Isi kesepakatan itu PT. Freeport bersedia membangun perumahan kayu untuk masyarakat suku Amungme di Banti II, Tagabera, Opitawak, Arwanop dan Amungme di Tsinga. Dana proyek pembangunan perumahan di 3 desa tersebut diambil dari 1% penghasilan kotor PT. Freeport. Sejak tahun 1996 hingga 2009 ini menahan keuntungan 1% itu.
Ironis walau kesepakatan dan janji PT. Freeport telah disepakati, namun yang didapat suku Amungme hanyalah tindakan-tindakan kekerasan seperti pada bulan Oktober 2007 lalu. PT. Freeport diduga telah memprovokasi masyarakat Amungme dan suku Dani sehingga mengakibatkan perang Suku, 13 orang tewas dan belasan lain luka-luka.
Para Pemegang Saham PT Freeport tercatat sebagai berikut:
- Pemerintah Indonesia 9, 36%
- PT. Freeport Investama 9, 36 %
- Freeport Mc MoRan & Gold Inc. 81 %
Pajak Yang diterima Pemerintah Indonesia:
- Royalti, Deviden dan Pembayaran Lain US$ 1,8 miliar per tahun
- Manfaat tidak langsung US$ 1,1 miliar per tahun
Sumber: http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=702&type=5
NB: Foto konferensi pers bersama WALHI-LPNR PB dan Titus Natkime dari Warga Amungme
Majelis Hakim yang dipimpin Suharto memberikan waktu kepada kedua belah pihak untuk melakukan mediasi. Dalam hal ini Suharto menunjuk hakim Ahmad Yusak sebagai mediator. Hakim Suharto memberikan waktu selama 20 hari pada kedua belah pihak untuk melakukan negoisasi yang difasilitasi oleh Pertambangan RI. Namun jika dalam 20 hari tersebut tidak menghasilkan kesepakatan atau gagal maka perkara akan dilanjutkan tanggal 15 September mendatang.
Titus Natkime selaku wakil suku Amungme sekaligus kuasa hukum suku Amungme marasa pesimis mediasi itu akan berjalan lancar. Laki-laki kelahiran Waa Tembagapura 12 Juli 1975 ini berpendapat kalau para tergugat (kuasa hukum) tidak tahu-menahu kondisi sebenarnya di wilayah Amungme. "Mereka kuasa hukum PT. Freeport itu tidak mengetahui kondisi sosial masyarakat yang sebenarnya. Gugatan ini dilayangkan agar pihak tergugat membayar kerugian atas pelanggaran HAM dan hak tanah masyarakat Amungme seluas 2.685.00 yang hilang,” papar Titus.
Titus menjelaskan panjang lebar soal keberadaan PT. Freeport yang menurut dia telah menghancurkan hak tanah Ulayat miliknya. Jadi tidaklah salah bila masyarakat adat Amungme menuntut ganti rugi sebesar US$ 30 miliar. ”Kami menuntut ganti rugi sejak 1967 sampai 2009 ini,” papar Titus.
Gugatan sebesar US$ 30 miliar itu dihitung sejak PT. Freeport beroprasi di tanah Ulayat milik suku Amungme di Tembagapura. Titus pun menyebutkan sebelum melayangkan gugatan, Pimpinan PT. Freeport McMoran yang diwakili James Moffett telah melakukan negoisasi dengan suku adat. Sayangnya, dalam perundingan itu tidak ada titik temu.
“Makanya, kami menggugat mereka lewat pengadilan negeri ini. Selain itu, mereka juga harus bayar ganti rugi selama beroprasi di wilayah tanah milik suku Amungme,” papar Titus.
Laki-laki lulusan Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) Bandung Jawa Barat ini memaparkan kalau tuntutan masyarakat pemegang hak Ulayat atas tanah kepada para tergugat ini berkenaan dengan pelanggaran HAM dan penggunaan hak Ulayat masyarakat suku Amungme, Timika atas tanah 2.610.182 hektar yang digunakan PT. Freeport Indonesia sebagai lahan pertambangan.
“Sejak 1967 masyarakat suku Amungme sudah tidak dapat menggunakan tanah yang menjadi hak Ulayat mereka karena telah dijadikan sebagai areal Kontrak Karya dari PT. Freeport Indonesia,” paparnya.
Penguasaan lahan tidak sah lantaran tidak pernah mendapat persetujuan dari masyarakat adat. Titus menuding PT. Freeport telah malakukan pencabutan secara paksa atas hak tanah Ulayat, walalupun ada partisipasi PT. Freeport untuk kesejahteraan masyarakat tetapi semua itu tidak sebanding dengan apa yang PT. Freeport dapatkan bahkan jauh dari keadilan.
Titus memperkirakan, keuntungan yang didapatkan PT. Freeport mencapai US$ 9,50 miliar per tahun. Sementara suku Amungme sebagai pemilik lahan jauh dari kesejahteraan. Seharusnya Suku Amungme sebagai pemilik lahan terdaftar sebagai pemegang saham. Kakayaan alam yang dimiliki suku Amungme tidak membuat masyarakat Amungme sejahtera.
Menurut Titus Perusahaan Raksasa ini diduga turut serta aktif dalam proses pemusnahan etnis Papua. Hal ini terlihat dalam pengalaman hidup orang Papua. Selama 40 tahun, sejak 1967, dimana secara illegal PT. Freeport Indonesia mulai beroprasi di tanah Papua dengan memakai Izin usaha yang diterbitkan pemerintah Indonesia padahal Papua belum ditetapkan sebagai wilayah NKRI melalui referendum 1969.
“Untuk itu, mulai saat ini mari kita buka apa yang terjadi di Papua, terutama suku Amungme. Ketidak adilan, bebodohan dan kemiskinan tumbuh subur, padahal tanah adat yang mereka miliki mengandung kekayaan yang melimpah yang seharusnya bisa mereka dinikmati,” katanya.
Mindo Pangaribuan juru bicara PT. Freeport gugatan yang dilayang masyarakat Papua bukan hanya sekali ini saja hasilnya pun selalu dimenangkan oleh PT. Freeport.
Mindo mengatakan seperti yang dilansir majalah Ombudsman Indonesia Edisi Agustus lalu menjelaskan telah mentaati prosedur hukum dan perundang-undangan serta beroprasi sesuai dengan kontrak karya PT. Freeport ditunjuk sebagai kontrak tunggal atas wilayah Kontrak Karya (KK) dan mandapat hak tunggal melakukan pertambangan di wilayah tersebut.
Bahkan Mindo mengatakan PT. Freeport telah mengucurkan dana perwalian kepemilikan sejak tahun 2001 untuk suku Amungme dan berakhir 2008 dengan nilai US$ 27 juta, namuan Titus membantah, menurutnya dana yang dikucurkan PT. Freeport itu bukan dana ganti rugi atas kepemilikan hak atas tanah Ulayat, “yang kami tuntut itu dana ganti rugi atas kepemilikan tanah adat,” ujar Titus.
Ini pertama kalinya rakyat adat Amungme mengguggat PT. Freeport di pengadilan Indonesia atas segala dampak beroperasinya perusahaan tambang tembaga dan emas tersebut. "Tahun 1997 Tom Beanal, Papua pernah menggugat PT Freeport di luar negeri namun kalah," katanya.
Gugatan sebesar US$30 miliar tersebut, jelas Titus, seimbang dengan hasil yang didapat oleh PT Freeport dari penambangan yaitu sekitar 27 juta dollar AS per hari. "PT Freeport Indonesia, pemerintah, dan PT. Indocopper Investama harus tanggung renteng untuk membayar kerugian dari pelanggaran HAM dan Lingkungan Hidup," tegasnya.
Pelanggaran HAM melingkupi :
- Ketidak Adilan
- Keterbelakangan
- Kemiskinan
- Kebodohan
- Diskriminasi dan
- Pemerkosaan hak adat
Sementara dari lingkungan Hidup Melingkupi:
- Hak pakai
- Pengakuan Terhadap tanah adat
- Kerusahan dan
- Sewa
PT. Freeport Harus Transparan
Gubernur Papua, Barnabas Suebu, SH menyatakan PT. Freeport harus transparan dan terbuka karena semua yang telah dilakukan selama ini akan terlihat, tertangkap dan terbukti, tinggal menunggu waktu saja.
Tahun 1967 adalah tahun-tahun sosialisasi PT. Freeport bisa mambuat apa saja yang dia mau di areal penambangan emas dan tebaga ini. “Tetapi d itahun-tahun terakhir ini dimana sulit mengatasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang terbuka untuk membuka kedok penipuan dan kelicikan,“ ungkapnya.
Barnabas menambahkan, teknologi informasi dan keunikasi ini akan terus berkembang untuk membuka kejahatan kemanusiaan yang selama ini tersembunyi. Masyarakat adat suku Amungme memiliki hak atas tanah Ulayat yang belum dibayar sampai sekarang ini. Masyarakat adat Amungme memiliki hak 1% royalty atas tanah miliknya PT. Freeport harus segera membayar melalui Bupati-Bupati di sekitar areal panambangan emas dan tembaga.
“Ada dugaan ditransper langsung ke rekening pribadi, tidak termasuk kedalam anggaran pembangunan masyarakat, dan janji-janji lain yang tidak dilaksanakan secara adil dan professional,” kata Barnabas.
Belum lagi tuntutan pembayaran saham 10% dari keuntungan besih. Semua ini harsu terbuka dan segera diselesaikan secara transparan. PT. Freeport Indonesia harus meninta maaf kepada masyarakat adat Amungme dan Kamaro juga kepada seluruh masyarakat Papua demi kebersamaan demi keadilan dibumi yang kita cintai ini, ungkapnya.
“Apa yang telah terjadi puluhan tahun lalu tidak ada alasan ditutup-tutupi yang harus dipikirkan saat ini bagaimana merubah masa depan masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya suku Amungme yang masih jauh dari kesejahteraan. Sebenarnya masyarakat Amungme lebih sejahtera dibanding masyarakat lain karena pemegang hak ulayat yang menghasilan juta dolar per hari”, imbuh Barnabas.
Janji-Janji PT. Freeport
Sekedar mengingatkan, pada tanggal 27 Juli 2001 suku Amungme pernah mengajukan somasi terhadap PT. Freeport Indonesia, sebelum tuntutan itu berlanjut di pengadilan dengan cara sepihak PT. Freeport Indonesia membujuk masyarakat Amungme selaku pengguna untuk mencabut gugatan tersebut.
Atas permohonan PT. Freeport itu Masyarakat suku Amungme dan Komoro berangkat ke New Orleans Amerika serikat dengan mengajukan penawaran membeli sebagian saham PT. Freeport. PT. Freeport bersedia memberikan dana perwalian kepada Masyarakat pemilik ulayat sebesar $ 1. 000.000 pertahun dan $ 500.000 pertahun kepada suku Komoro.
Dana perwalian tersebut diambil dari 1% penghasilan kotor PT. Freeport. Namun dana yang di janjikan PT. Freeport tersebut sampai saat ini tidak jelas. Pada akhirnya masyarakat suku Amungme dan Komoro masih tetap miskin.
Pada tanggal yang sama telah terjadi kesepakatan penandatanganan antara PT. Freeport dengan 3 desa. Isi kesepakatan itu PT. Freeport bersedia membangun perumahan kayu untuk masyarakat suku Amungme di Banti II, Tagabera, Opitawak, Arwanop dan Amungme di Tsinga. Dana proyek pembangunan perumahan di 3 desa tersebut diambil dari 1% penghasilan kotor PT. Freeport. Sejak tahun 1996 hingga 2009 ini menahan keuntungan 1% itu.
Ironis walau kesepakatan dan janji PT. Freeport telah disepakati, namun yang didapat suku Amungme hanyalah tindakan-tindakan kekerasan seperti pada bulan Oktober 2007 lalu. PT. Freeport diduga telah memprovokasi masyarakat Amungme dan suku Dani sehingga mengakibatkan perang Suku, 13 orang tewas dan belasan lain luka-luka.
Para Pemegang Saham PT Freeport tercatat sebagai berikut:
- Pemerintah Indonesia 9, 36%
- PT. Freeport Investama 9, 36 %
- Freeport Mc MoRan & Gold Inc. 81 %
Pajak Yang diterima Pemerintah Indonesia:
- Royalti, Deviden dan Pembayaran Lain US$ 1,8 miliar per tahun
- Manfaat tidak langsung US$ 1,1 miliar per tahun
Sumber: http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=702&type=5
NB: Foto konferensi pers bersama WALHI-LPNR PB dan Titus Natkime dari Warga Amungme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar