Oleh: Tabloid JUBI Papua
JUBI---Investigasi yang dilakukan Promotor Justice and Piece, Jakarta, terhadap 30 pos militer di sepanjang jalan Merauke hingga Perkebunan Kelapa Sawit, Asiki, Boven Digoel, ditemukan sedikitnya 41 peristiwa kekerasan seksual terjadi dan dilakukan oleh oknum militer. Motifnya, eksploitasi seksual dilakukan melalui pendekatan terhadap korban kekerasan, diberikan sejumlah bama (Bahan Makanan) dan mengajak berpacaran untuk selanjutnya dipaksa berhubungan seksual. “Jika Perempuan tidak mau, maka si perempuan dipaksa bahkan dipukul. Artinya, perempuan dengan ketidakberdayaan mau juga bersetubuh dengan tentara. Itu kebanyakan dilakukan di rumah dan diketahui orang tua korban dengan alasan malu hati lantaran sudah dekat sehingga membiarkan itu terjadi. Ironisnya, kegiatan-kegiatan tersebut terjadi ditempat-tempat sakral. Seperti pada kasus Bupul, persetubuhan terjadi dibelakang Gua Maria,” tutur Promotor Justice and Piece Fr. Wensislaus Fatubun ketika dikonfirmasi di Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP - KAM), (9/9).
Berdasarkan hasil investigasi, daerah Bupul menempati urutan tertinggi dengan 15 perempuan korban kekerasan oleh oknum aparat TNI-AD. Toray menempati urutan ke-2 dengan 7 korban kekerasan seksual. Sementara daerah lainnya seperti Kweel, Erambu, Sota, Yanggandur, Rawa Biru, Ndalir, Tomer, Muting, Kuler dan Nasem hanya berkisar 1-5 orang. Banyaknya kasus kekerasan seksual di daerah Bupul, menurut Wensi, disebabkan karena letak Pos militer hanya berjarak 1 km dari perkampungan sehingga akses tentara ke kampung sangat dekat. Sementara berdasarkan aturan hukum militer internasional, penempatan pos-pos militer di wilayah perbatasan harus berjarak 5 – 10 km dari perkampungan warga. “Ternyata penempatan pos ditengah kampung membuka ruang terjadi kekerasan seksual terhadap kaum perempuan,” tandasnya seraya mengatakan, penempatan pos-pos militer di wilayah perbatasan ternyata bukan menciptakan rasa aman bagi masyarakat Papua khususnya karena kebanyakan
korban kekerasan lebih banyak diderita Perempuan Papua.
Fenomena terjadinya kasus kekerasan seksual di wilayah perbatasan, lanjut Wensi, dimulai sejak kebijakan pengembangan pos-pos militer di sepanjang perbatasan wilayah Merauke hingga Kondo. Ironisnya lagi, kasus tersebut mulai mencuat sejak kedatangan tentara angkatan darat dari kesatuan Pattimura di tahun 1992-1993. Dampaknya, anak-anak yang dihasilkan dari korban kekerasan seksual, tidak memiliki status sosial maupun status adat yang jelas bahkan cenderung disingkirkan dari pergaulan masyarakat.
Dengan mencuatnya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum aparat TNI-AD, pihaknya bekerjasama dengan Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Perempuan RI selanjutnya akan melakukan proses advokasi dengan Panglima Tertinggi Angkatan Darat. Dimana targetnya adalah mendorong agar sistem pengamanan perbatasan yang selama ini berlaku perlu ditinjau ulang. “Saat ini kami tengah membuat laporan dan kemungkinan Oktober akan segera dilanjutkan dengan proses advokasi,” ucapnya pasti. (drie/Merauke.
NB; Foto by...http://unic77.blogspot.com
Berdasarkan hasil investigasi, daerah Bupul menempati urutan tertinggi dengan 15 perempuan korban kekerasan oleh oknum aparat TNI-AD. Toray menempati urutan ke-2 dengan 7 korban kekerasan seksual. Sementara daerah lainnya seperti Kweel, Erambu, Sota, Yanggandur, Rawa Biru, Ndalir, Tomer, Muting, Kuler dan Nasem hanya berkisar 1-5 orang. Banyaknya kasus kekerasan seksual di daerah Bupul, menurut Wensi, disebabkan karena letak Pos militer hanya berjarak 1 km dari perkampungan sehingga akses tentara ke kampung sangat dekat. Sementara berdasarkan aturan hukum militer internasional, penempatan pos-pos militer di wilayah perbatasan harus berjarak 5 – 10 km dari perkampungan warga. “Ternyata penempatan pos ditengah kampung membuka ruang terjadi kekerasan seksual terhadap kaum perempuan,” tandasnya seraya mengatakan, penempatan pos-pos militer di wilayah perbatasan ternyata bukan menciptakan rasa aman bagi masyarakat Papua khususnya karena kebanyakan
korban kekerasan lebih banyak diderita Perempuan Papua.
Fenomena terjadinya kasus kekerasan seksual di wilayah perbatasan, lanjut Wensi, dimulai sejak kebijakan pengembangan pos-pos militer di sepanjang perbatasan wilayah Merauke hingga Kondo. Ironisnya lagi, kasus tersebut mulai mencuat sejak kedatangan tentara angkatan darat dari kesatuan Pattimura di tahun 1992-1993. Dampaknya, anak-anak yang dihasilkan dari korban kekerasan seksual, tidak memiliki status sosial maupun status adat yang jelas bahkan cenderung disingkirkan dari pergaulan masyarakat.
Dengan mencuatnya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum aparat TNI-AD, pihaknya bekerjasama dengan Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Perempuan RI selanjutnya akan melakukan proses advokasi dengan Panglima Tertinggi Angkatan Darat. Dimana targetnya adalah mendorong agar sistem pengamanan perbatasan yang selama ini berlaku perlu ditinjau ulang. “Saat ini kami tengah membuat laporan dan kemungkinan Oktober akan segera dilanjutkan dengan proses advokasi,” ucapnya pasti. (drie/Merauke.
NB; Foto by...http://unic77.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar