Oleh: Arkilaus Arnesius Baho
Lagi, kembali satu lagi ketidakadilan dirasakan warga Papua. Persatuan sepak bola Indonesia kembali memberi sanksi kepada tim Persipura untuk tidak ikut main dalam copa satu tahun, dan denda ratusan juta. Persepakbolaan Indonesia yang digelar badan liga ini menelan dana ratusan miliar, dimana setiap klub pemenang juga takluput diberi dana hanya rata-rata 2 milyar. Dunia sportifitas di lapangan hijau jika di dudukung kekuatan modal, segala aturan dan esensi sebuah fire play hanyalah digiring dalam semangat kapitalisasi saja. Tak salah jika, karakter pemodal dalam mengontrol kemerdekaan persepakbolaan ini berakhir dengan keputusan Negara yang terus memihak kepada kepentingan kaum pemegang dana. Hal yang sama terjadi atas PT. Freeport Indonesia.
Wolk out persipura pada laga final melawan Sriwijaya FC di stadiun Jakabaring Palembang ini berakhir dengan dimenangkanya TIM tuan rumah. Sebenarnya boikot bermain tidak saja ditunjukan oleh persipura saja, namun tradisi yang sering dijumpai di lapangan hijau. Entah diakukan dengan berbagai cara tergantung iklim permainan bola tiap klub dan Negara. Namun, kejadian wolk out persipura dianggap berlebihan. Ada dugaan, PSSI harus menjawab protes para pemegang saham di badan liga, sehingga harus mengorbankan tim persepakbolaan dalam negeri. Persipura, jika ditilik dari segala aspek terjangnya dalam lapangan hijau, permainan yang bagus di tunjukan. Konon, ketidakjujuran afficial pertandingan kadang membuat para pemain meradang. Sejak dahulu, turnamen dengan keterlibatan persipura, tidak menjadi bahan evaluasi dalam kubu PSSI. Adalah mendorong propesionalisme para wasit dilapangan hijau.
Drakula Freeport dan PSSI adalah sama. Sama-sama mengedepankan kepentingan modal. Sejak perlombaan sepak bola berjalan, diperkirakan, sudah dua kali persipura mendapat sanksi berupa pembayaran uang. Sedangkan, untuk memeriahkan perayaan copa jarum super saja, PANPEL persipura mengeluarkan dana 50 miliar hanya untuk atraksi terakhir dalam liga jarum super. Bila di hitung, total pengeluaran tim Mutiara hitam untuk membayar denda kepada PSSI, terhitung sudah ratusan juta dana di kembalikan dari Papua ke Jakarta. Belum lagi, kantong dana persipura dikeluarkan hanya untuk transport bagi pemain dalam turnamen ke daerah Jawa.
Negeri ini memang dari kepala hingga ekor dan cabang-cabangnya bermental drakula. Hanya mampu menyanggupi keinginan para pemodal ketimbang memberi rasa keadilan bagi rakyat sendiri. Kasus boikot persipura, bisa jadi tamparan baru bagi investasi persepakbolaan dalam negeri. PSSI diperhadapkan dalam ruang memilih memihak kepada sportifitas lapangan hijau ataukan, menjamin keamanan para pemegang saham dalam hajatan badan liga Indonesia. Dari puncak penyelesaiannya, sangat kelihatan, kepentingan modal jadi pemicu utama segala keputusan badan olahraga di Indonesia ini. PSSI memang sudah tercoreng lembaganya, disatu sisi belum ada tingkatan instrumen aturan yang dibuat terkait masalah pelanggaran, konon PSSI hanya ikut meratifikasi aturan sepakbola yang ada di dunia.
PSSI dalam genggaman koruptor
Nurdin halid, ketua PSSI pernah di duga terkait kasus korupsi dana bulog adalah masalah import beras. Kasus sang komandan PSSI ini sempat membuat lembaga bola ini getar getir. Pola pengungkapan atas koruptor dimaksud, juga membuat institusi rezim seperti golkar ternodai. Sebab nurdin adalah kader golkar. Sayangnya, pengusutan tersangka nurdin walaupun sempat dipenjara, kemudian kasus tersebut terkubur dengan dugaan adanya interfensi politik elit Jakarta terutama kubu golkar. Padahal, rezim Susilo Bambang Yudhoyoni dan Jussuf Kalla, duet pemerintahan yang ber-visi pemberantasan korupsi. Toh, kasus nurdin malah sang koruptor masih menjabat ketua PSSI sampai sekarang.
Eks koruptor saja dibiarkan memegang puncak kekuasaan dalam dunia olehraga, bagaimanapun, institusi tersebut tetap tidak fire dalam segala aspek keputusannya. Bila dibiarkan, pola penyelesaian masalah seperti yang dialami persipura pasti terulang lagi bagi klub-klub lainnya dalam negeri bahkan semangat para atlet justeru luntur dengan propek mengibuli aturi bola dimaksud. Persipura tidak hanya ada dan memberi peran terbaik dalam dunia sepak bola nasional. Timnas Indonesia mulai dari U-21 hingga Timnas senior, paling banyak pemain asal Tanah Papua berbendera mutiara hitam ( PERSIPURA ) selalu jadi rekort timnas. Begitu juga, dalam tiap turnamen, public selalu condong dengan peningkatan pemain-pemain bola asal Tanah Papua yang cenderung di beri label "pemain berbakat". Toh, semuanya dianggap kusam hanya dengan dominasi dan keinginan para investor dunia bola.
Nah, para sponsor sepak bola dalam negeri memang di suplai dari dana kas daerah ( APBD ). Pemkot Jayapura bersusah payah mendukung klub Persipura dengan dukungan dana APBD kota. Toh, pemasukan daerah kota ini memang terbanyak adalah sepakbola dan pajak kota lainnya. Tidak hanya itu, dukungan suplai dana bagi wadah sepak bola sering didukung oleh para pengusaha, misalnya penyuplai mobil dan bank Papua. Dibandingkan dengan BLI didukung oleh PT. Jarum Super dan lainnya yang berkelas internasional. Total dana dalam pertandingan copa Indonesia adalah 700 milyar. Penggunaan dana tersebut disuplai oleh berbagai investor yang tak hanya mendukung persepakbolaan saja, tetapi disatu sisi juga sebagai ajang promosi. Proyek bola adalah turnamen yang paling banyak sehingga tak bisa dibantah bahwa cabang ini juga turut menyedot dana Negara, dimana devisa Negara saat ini lebih banyak digunakan untuk membayar utang Negara. Sudah tambah susah, sudah pasti segala lini pemerintahan hanya ditujukan pada bisnis semata, dan inilah bentuk Negara pasar sejati.
Jakarta hanya jago dalam menghisap dana daerah atau "drakula" sama halnya realitas penghisapan tambang di Papua oleh PT. Freeport Indonesia. Dunia bola banyak menyerap dana Negara. Pemasukan kas Negara dari cabang olehraga memang dibilang ada. Namun, hasil yang didapatkan berupa fasilitas olahraga cukup jauh dari harapan. Persipura saja, sejak bertahun-tahun belum punya lapangan sepak bola, selama ini lapangan Mandala Jayapura masuk dalam stadion propinsi Papua. Sama halnya, dunia tahu Timika bersarang perusahaan emas dunia, toh Timika tetap saja seperti dahulukala. Teori penghisapan atau drakula ekonomi, sejak awal sampai sekarang, tradisi ini tak bisa dirubah oleh pemegang kekuasaan Negara di Jakarta. Freeport kuras kekayaan alam Papua, berlanjut lagi Persipura dikuras lagi oleh PSSI, lama-lama drakula di Jakarta jadi pemakan manusia dan bukan lagi penghisap darah. Semoga berubah!
Wolk out persipura pada laga final melawan Sriwijaya FC di stadiun Jakabaring Palembang ini berakhir dengan dimenangkanya TIM tuan rumah. Sebenarnya boikot bermain tidak saja ditunjukan oleh persipura saja, namun tradisi yang sering dijumpai di lapangan hijau. Entah diakukan dengan berbagai cara tergantung iklim permainan bola tiap klub dan Negara. Namun, kejadian wolk out persipura dianggap berlebihan. Ada dugaan, PSSI harus menjawab protes para pemegang saham di badan liga, sehingga harus mengorbankan tim persepakbolaan dalam negeri. Persipura, jika ditilik dari segala aspek terjangnya dalam lapangan hijau, permainan yang bagus di tunjukan. Konon, ketidakjujuran afficial pertandingan kadang membuat para pemain meradang. Sejak dahulu, turnamen dengan keterlibatan persipura, tidak menjadi bahan evaluasi dalam kubu PSSI. Adalah mendorong propesionalisme para wasit dilapangan hijau.
Drakula Freeport dan PSSI adalah sama. Sama-sama mengedepankan kepentingan modal. Sejak perlombaan sepak bola berjalan, diperkirakan, sudah dua kali persipura mendapat sanksi berupa pembayaran uang. Sedangkan, untuk memeriahkan perayaan copa jarum super saja, PANPEL persipura mengeluarkan dana 50 miliar hanya untuk atraksi terakhir dalam liga jarum super. Bila di hitung, total pengeluaran tim Mutiara hitam untuk membayar denda kepada PSSI, terhitung sudah ratusan juta dana di kembalikan dari Papua ke Jakarta. Belum lagi, kantong dana persipura dikeluarkan hanya untuk transport bagi pemain dalam turnamen ke daerah Jawa.
Negeri ini memang dari kepala hingga ekor dan cabang-cabangnya bermental drakula. Hanya mampu menyanggupi keinginan para pemodal ketimbang memberi rasa keadilan bagi rakyat sendiri. Kasus boikot persipura, bisa jadi tamparan baru bagi investasi persepakbolaan dalam negeri. PSSI diperhadapkan dalam ruang memilih memihak kepada sportifitas lapangan hijau ataukan, menjamin keamanan para pemegang saham dalam hajatan badan liga Indonesia. Dari puncak penyelesaiannya, sangat kelihatan, kepentingan modal jadi pemicu utama segala keputusan badan olahraga di Indonesia ini. PSSI memang sudah tercoreng lembaganya, disatu sisi belum ada tingkatan instrumen aturan yang dibuat terkait masalah pelanggaran, konon PSSI hanya ikut meratifikasi aturan sepakbola yang ada di dunia.
PSSI dalam genggaman koruptor
Nurdin halid, ketua PSSI pernah di duga terkait kasus korupsi dana bulog adalah masalah import beras. Kasus sang komandan PSSI ini sempat membuat lembaga bola ini getar getir. Pola pengungkapan atas koruptor dimaksud, juga membuat institusi rezim seperti golkar ternodai. Sebab nurdin adalah kader golkar. Sayangnya, pengusutan tersangka nurdin walaupun sempat dipenjara, kemudian kasus tersebut terkubur dengan dugaan adanya interfensi politik elit Jakarta terutama kubu golkar. Padahal, rezim Susilo Bambang Yudhoyoni dan Jussuf Kalla, duet pemerintahan yang ber-visi pemberantasan korupsi. Toh, kasus nurdin malah sang koruptor masih menjabat ketua PSSI sampai sekarang.
Eks koruptor saja dibiarkan memegang puncak kekuasaan dalam dunia olehraga, bagaimanapun, institusi tersebut tetap tidak fire dalam segala aspek keputusannya. Bila dibiarkan, pola penyelesaian masalah seperti yang dialami persipura pasti terulang lagi bagi klub-klub lainnya dalam negeri bahkan semangat para atlet justeru luntur dengan propek mengibuli aturi bola dimaksud. Persipura tidak hanya ada dan memberi peran terbaik dalam dunia sepak bola nasional. Timnas Indonesia mulai dari U-21 hingga Timnas senior, paling banyak pemain asal Tanah Papua berbendera mutiara hitam ( PERSIPURA ) selalu jadi rekort timnas. Begitu juga, dalam tiap turnamen, public selalu condong dengan peningkatan pemain-pemain bola asal Tanah Papua yang cenderung di beri label "pemain berbakat". Toh, semuanya dianggap kusam hanya dengan dominasi dan keinginan para investor dunia bola.
Nah, para sponsor sepak bola dalam negeri memang di suplai dari dana kas daerah ( APBD ). Pemkot Jayapura bersusah payah mendukung klub Persipura dengan dukungan dana APBD kota. Toh, pemasukan daerah kota ini memang terbanyak adalah sepakbola dan pajak kota lainnya. Tidak hanya itu, dukungan suplai dana bagi wadah sepak bola sering didukung oleh para pengusaha, misalnya penyuplai mobil dan bank Papua. Dibandingkan dengan BLI didukung oleh PT. Jarum Super dan lainnya yang berkelas internasional. Total dana dalam pertandingan copa Indonesia adalah 700 milyar. Penggunaan dana tersebut disuplai oleh berbagai investor yang tak hanya mendukung persepakbolaan saja, tetapi disatu sisi juga sebagai ajang promosi. Proyek bola adalah turnamen yang paling banyak sehingga tak bisa dibantah bahwa cabang ini juga turut menyedot dana Negara, dimana devisa Negara saat ini lebih banyak digunakan untuk membayar utang Negara. Sudah tambah susah, sudah pasti segala lini pemerintahan hanya ditujukan pada bisnis semata, dan inilah bentuk Negara pasar sejati.
Jakarta hanya jago dalam menghisap dana daerah atau "drakula" sama halnya realitas penghisapan tambang di Papua oleh PT. Freeport Indonesia. Dunia bola banyak menyerap dana Negara. Pemasukan kas Negara dari cabang olehraga memang dibilang ada. Namun, hasil yang didapatkan berupa fasilitas olahraga cukup jauh dari harapan. Persipura saja, sejak bertahun-tahun belum punya lapangan sepak bola, selama ini lapangan Mandala Jayapura masuk dalam stadion propinsi Papua. Sama halnya, dunia tahu Timika bersarang perusahaan emas dunia, toh Timika tetap saja seperti dahulukala. Teori penghisapan atau drakula ekonomi, sejak awal sampai sekarang, tradisi ini tak bisa dirubah oleh pemegang kekuasaan Negara di Jakarta. Freeport kuras kekayaan alam Papua, berlanjut lagi Persipura dikuras lagi oleh PSSI, lama-lama drakula di Jakarta jadi pemakan manusia dan bukan lagi penghisap darah. Semoga berubah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar