Oleh: Arkilaus Arnesius Baho
Hanya dengan rekayasa sajalah, kapitalisme dapat menumbuhkan kakinya atas segala kejahatannya di wilayah negara lain. Entah menafikan jati dirinya, belajar dari tragedi Freeport di Tanah Papua hingga trgaedi Bom di Hotel Marriot Jakarta niscaya sekali bahkan fiktif adanya. Kaum imperialisme dunia, bila ditilik dari proses menumbuhkan sayapnya, sistem penindasan dan eksploitatif ini terus saja membumikan cakarnya dengan beragam peristiwa kemanusiaan. Akar propaganda cenderung direduksi sebagai metamorfosa politik propaganda yang terus lahir di bumi Indonesia. Dimana tatanan konstitusi negara harus berhaluan arah mementingkan keberpihakannya terhadap dunia kontra-imperialisme dan terus menodai kedaulatan rakyat.
Kita tahu, begitu kasus penembakan di Freeport terjadi, kemudian muncul unek-unek stigmatisasi yang telah subur dikalangan borjuis Pemerintahan. Institusi negara di Papua kemudian menduga insiden Freeport terkait separatisme. Dimana Papua sejak masuknya PT. Freeport Sulphur hingga Freeport Indonesia, dua stigma yang sampai sekarang terus ditanamkan guna propagandis negara terhadap segala gangguan terhadap Freeport. Adalah Gerakan Pengacau Keamanan ( GPK ) dan Separatisme jadi alat ampuh untuk mem-blacklist kelompok atau individu warga negara yang menolak keberadaan Freeport di Tanah Papua. Kini desain modern yang kuat adalah isu terorisme yang lahir dari kepentingan Amerika tahun 2001 kemudian mampu menjustifikasi konstitusi negara lain untuk menerima cara propagandis negara dengan stigma teroris.
Betapapun juga, harus diakui, sejak reformasi tahun 1998, ketika terjadi BOM, pasti saja dikaitkan dengan cabang-cabang terorisme. Begitupun juga, ketika kasus terjadi dalam Areal Freeport, separatis dituding berada dibalik insiden. Alhasil, sampai era pergantian lima kabinet dan lima rezim pemerintahanpun, belum ada suatu pola penanganan masalah oleh negara dengan tidak menggunakan paradigma propagandisme yang dicetuskan oleh negara luar.
Bukti adanya hegemoni Imperialisme
Presiden pertama Indonesia ( Sukarno ) dikudeta secara sistematik oleh gerbong militer Amerika dalam peristiwa GESTAPU ( Gerakan tigapuluh september ). Presiden kedua, Suharto dengan leluasa mengundang para perusahaan asing masuk kedalam Indonesaia. Freeport kemudian masuk ke Tanah Papua dengan dukungan sumbangsih Undang-undang Penananman Modal Asing tahun 1967, sejak ditandatanganinya kontrak secara sepihak oleh Suharto pada Juli 1967. Dasar UUPMA menakjubkan, aliansi strategis kaum investor asing bergandengan tangan terjun dalam menanam sahamnya di Indonesia. Kebijakan lunakpun diberikan pemerintah terhadap investasi. Mulai dari UU Minerba, UU tata ruang hingga penggantian utang perusahaan oleh negara.
Kapitalisme menghembuskan isu komunisme lahir diera pemerintahan progresif Sukarno dimana sebuah kudeta politik direkonstruksi untuk menggeser kedaulatan negara dibawah sukarno waktu itu. Pelebelan buruk bagi warga negara Indonesia oleh aktor-aktor imperialisme ini kemudian termakan dalam suprastruktur politik para negarawan. Elit politik di Indonesia kemudian menggeser pemahamannya untuk termakan dalam sapuan propaganda setan-setan anti perubahan. Kudeta terhadap Sukarno begitu berhasil, PT. Freeport kemudian memulai cadangan kekuatan politik kapitalisme di Indonesia, adalah Undang-undang penanaman modal asing menjadi dasar bahkan boleh dibilang UU PMA sebagai akar malapetaka bagi pengelolaan tambang di Indonesia.
Budaya mengkambinghitamkan rakyat sendiri dengan stigma mematikan ini, sungguh benar bahwa rekayasa imperialisme telah tumbuh dalam ranah politik indonesia hari ini. Para pejabat negara, afiliasi politik dan kaum reaksioner memulai menggendor rakyatnya. Dimana belajar dari pengalaman yang terjadi, di Papua saja, tragedi kemanusiaan sering terjadi dalam bentuk konsensus pengamanan terkait keberadaan Freeport. Warga Papua di eksekusi dalam ruang separatisme. Penembakan terhadap orang Papua, negara dibebaskan dari rasa pertanggungjawabanya terhadap pemenuhan HAM bagi warga Papua, penegakan HAM, pemenuhan ruang berpolitik terus dikubur oleh negara di Papua. Sayangnya, praktek kemanusiaan di Papua diabaikan negara, terutama para korban penembakan dengan stigma separatisme atau GPK.
Bagaikan firus, akibat dari stigmatisasi terhadap rakyat, kedaulatan negara atas perlindungan bagi rakyatnya tercabik-cabik akibat doktrin separatisme dan terorisme. Pemerintah disatu sisi harus terus membela kedaulatan rakyat ditengah kepincangan nation state hari ini yang rapuh akibat berbagai tudingan hitam atas berbagai tragedi kemanusiaan. Malapetaka terorisme dan separatisme muncul disaat konsesi sejumlah aset modal ada di Indonesia. Era nasionalisme Indonesia dibawah Sukarno dihancurkan dengan isu komunisme, hingga era suharto, isu GPK dan separatisme mencuat di permukaan sampai pada era SBY pun dinamika terorisme selalu saja membayangi dunia kaum islam ekstrimis di Indonesia.
Jika demikian begini resolusi penyelesaian masalah hanya dengan menjadikan virus-virus imperialisme sebagai kekuatan pemukul dalam negara berdaulat, sangat disayangkan sekali, sebab pemenuhan ekonomi, hak politik dan kemerdekaan yang harus diwujudkan secara penuh bagi negara Indonesia harus kendor akibat politik imperialisme.
Belajar dari peristiwa pengalihan isu secara sistematik, suatu contoh menilik kehadiran PT. Freeport di Papua. Tahun 1980an di areal sekitar PT. Freeport terjadi operasi penumpasan oleh pasukan militer Indonesia terhadap orang Papua yang menolak Freeport. Isu gerakan pengacau keamanan mulai dihembuskan hingga isu separatisme sekarang. Sebelumnya, tahun 1965 adalah puncak peristiwa GESTAPU dengan dalil pemberontakan komunisme. Dengan dogmatisme tersebut. parameter negara kemudian seakan menidakan problem sejati yang timbul ditengah rakyat. Adalah sesungguhnya, menarik sekali kemudian kiranya memulai imperialisme baru di Indonesia adalah dukungan keisimewaan bagi Freeport. Freeport masuk kedalam Indonesia dua tahun setelah GESTAPU terjadi. Sampai pada era reformasipun, tahun 2006, menuju penyelesaian Freeport, Isu Suaka Politik Papua ke Australia. Hingga sekarang, tragedi Freeport Juli 2009, berlanjut dengan kasus pemboman hotel Marriott. Freeport selalu identik dengan politik pengalihan isu, seakan kasus-kasus yang terjadi pasca peristiwa freeport ini menjadi keharusan untuk dilakukan jika Freeport digugat keberadaanya di negara tertentu.
Kita tahu, begitu kasus penembakan di Freeport terjadi, kemudian muncul unek-unek stigmatisasi yang telah subur dikalangan borjuis Pemerintahan. Institusi negara di Papua kemudian menduga insiden Freeport terkait separatisme. Dimana Papua sejak masuknya PT. Freeport Sulphur hingga Freeport Indonesia, dua stigma yang sampai sekarang terus ditanamkan guna propagandis negara terhadap segala gangguan terhadap Freeport. Adalah Gerakan Pengacau Keamanan ( GPK ) dan Separatisme jadi alat ampuh untuk mem-blacklist kelompok atau individu warga negara yang menolak keberadaan Freeport di Tanah Papua. Kini desain modern yang kuat adalah isu terorisme yang lahir dari kepentingan Amerika tahun 2001 kemudian mampu menjustifikasi konstitusi negara lain untuk menerima cara propagandis negara dengan stigma teroris.
Betapapun juga, harus diakui, sejak reformasi tahun 1998, ketika terjadi BOM, pasti saja dikaitkan dengan cabang-cabang terorisme. Begitupun juga, ketika kasus terjadi dalam Areal Freeport, separatis dituding berada dibalik insiden. Alhasil, sampai era pergantian lima kabinet dan lima rezim pemerintahanpun, belum ada suatu pola penanganan masalah oleh negara dengan tidak menggunakan paradigma propagandisme yang dicetuskan oleh negara luar.
Bukti adanya hegemoni Imperialisme
Presiden pertama Indonesia ( Sukarno ) dikudeta secara sistematik oleh gerbong militer Amerika dalam peristiwa GESTAPU ( Gerakan tigapuluh september ). Presiden kedua, Suharto dengan leluasa mengundang para perusahaan asing masuk kedalam Indonesaia. Freeport kemudian masuk ke Tanah Papua dengan dukungan sumbangsih Undang-undang Penananman Modal Asing tahun 1967, sejak ditandatanganinya kontrak secara sepihak oleh Suharto pada Juli 1967. Dasar UUPMA menakjubkan, aliansi strategis kaum investor asing bergandengan tangan terjun dalam menanam sahamnya di Indonesia. Kebijakan lunakpun diberikan pemerintah terhadap investasi. Mulai dari UU Minerba, UU tata ruang hingga penggantian utang perusahaan oleh negara.
Kapitalisme menghembuskan isu komunisme lahir diera pemerintahan progresif Sukarno dimana sebuah kudeta politik direkonstruksi untuk menggeser kedaulatan negara dibawah sukarno waktu itu. Pelebelan buruk bagi warga negara Indonesia oleh aktor-aktor imperialisme ini kemudian termakan dalam suprastruktur politik para negarawan. Elit politik di Indonesia kemudian menggeser pemahamannya untuk termakan dalam sapuan propaganda setan-setan anti perubahan. Kudeta terhadap Sukarno begitu berhasil, PT. Freeport kemudian memulai cadangan kekuatan politik kapitalisme di Indonesia, adalah Undang-undang penanaman modal asing menjadi dasar bahkan boleh dibilang UU PMA sebagai akar malapetaka bagi pengelolaan tambang di Indonesia.
Budaya mengkambinghitamkan rakyat sendiri dengan stigma mematikan ini, sungguh benar bahwa rekayasa imperialisme telah tumbuh dalam ranah politik indonesia hari ini. Para pejabat negara, afiliasi politik dan kaum reaksioner memulai menggendor rakyatnya. Dimana belajar dari pengalaman yang terjadi, di Papua saja, tragedi kemanusiaan sering terjadi dalam bentuk konsensus pengamanan terkait keberadaan Freeport. Warga Papua di eksekusi dalam ruang separatisme. Penembakan terhadap orang Papua, negara dibebaskan dari rasa pertanggungjawabanya terhadap pemenuhan HAM bagi warga Papua, penegakan HAM, pemenuhan ruang berpolitik terus dikubur oleh negara di Papua. Sayangnya, praktek kemanusiaan di Papua diabaikan negara, terutama para korban penembakan dengan stigma separatisme atau GPK.
Bagaikan firus, akibat dari stigmatisasi terhadap rakyat, kedaulatan negara atas perlindungan bagi rakyatnya tercabik-cabik akibat doktrin separatisme dan terorisme. Pemerintah disatu sisi harus terus membela kedaulatan rakyat ditengah kepincangan nation state hari ini yang rapuh akibat berbagai tudingan hitam atas berbagai tragedi kemanusiaan. Malapetaka terorisme dan separatisme muncul disaat konsesi sejumlah aset modal ada di Indonesia. Era nasionalisme Indonesia dibawah Sukarno dihancurkan dengan isu komunisme, hingga era suharto, isu GPK dan separatisme mencuat di permukaan sampai pada era SBY pun dinamika terorisme selalu saja membayangi dunia kaum islam ekstrimis di Indonesia.
Jika demikian begini resolusi penyelesaian masalah hanya dengan menjadikan virus-virus imperialisme sebagai kekuatan pemukul dalam negara berdaulat, sangat disayangkan sekali, sebab pemenuhan ekonomi, hak politik dan kemerdekaan yang harus diwujudkan secara penuh bagi negara Indonesia harus kendor akibat politik imperialisme.
Belajar dari peristiwa pengalihan isu secara sistematik, suatu contoh menilik kehadiran PT. Freeport di Papua. Tahun 1980an di areal sekitar PT. Freeport terjadi operasi penumpasan oleh pasukan militer Indonesia terhadap orang Papua yang menolak Freeport. Isu gerakan pengacau keamanan mulai dihembuskan hingga isu separatisme sekarang. Sebelumnya, tahun 1965 adalah puncak peristiwa GESTAPU dengan dalil pemberontakan komunisme. Dengan dogmatisme tersebut. parameter negara kemudian seakan menidakan problem sejati yang timbul ditengah rakyat. Adalah sesungguhnya, menarik sekali kemudian kiranya memulai imperialisme baru di Indonesia adalah dukungan keisimewaan bagi Freeport. Freeport masuk kedalam Indonesia dua tahun setelah GESTAPU terjadi. Sampai pada era reformasipun, tahun 2006, menuju penyelesaian Freeport, Isu Suaka Politik Papua ke Australia. Hingga sekarang, tragedi Freeport Juli 2009, berlanjut dengan kasus pemboman hotel Marriott. Freeport selalu identik dengan politik pengalihan isu, seakan kasus-kasus yang terjadi pasca peristiwa freeport ini menjadi keharusan untuk dilakukan jika Freeport digugat keberadaanya di negara tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar