Oleh: Arkilaus Arnesius Baho
PT. Freeport Indonesia, anak cabang dari Freeport pusat " FMC " milik negara Amerika Serikat punya keistimewaan tersendiri yang didapatkan sejak kekuasaan pemerintahan di Indonesia berada dalam kendali dua pucuk presiden ber-awalan huruf " SU". Adalah Suharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Betapa pun, secara energik, seorang anak yang rutin di beri minuman Susu pasti sangat cerdas dan pintar. Begitu juga dengan suplai Instrumen dari para presiden SUSU kepada perusahaan emas Freeport dalam bentuk intrumen kebijakan Undang-undang Investasi di Republik Indonesia.
Kehancuran akibat suprice produk hukum yang dihasilkan tidak benar ini berujung pada tragedi ekonomi dan politik melanda negara. Misalnya, selang berlangsungnya proses pemilihan presiden 2009, terjadi penembakan warga negara asing di areal Freeport ( 11 Juli 2009 ), dimana kasus yang sama terjadi di tahun 2002 dengan tuduhan pelakunya Antonius Wamang dan berujung pada tujuh warga Papua tak berdosa di jebloskan kedalam penjara. Dalam pemilu tahun 2009 juga, penembakan warga sipil Papua terjadi di pos batas RI-PNG, penduduk sipil di Kabupaten Nabire Papua tertembak, hingga aksi-aksi anarkisme lainya yang meluap pasca pemilu. Begitu juga, dalam alam demokrasi; penegakan HAM, keadilan ekologis dan kewenangan ekonomi bangsa yang semestinya jadi akar kedaulatan bangsa di abaikan begitu saja.
Simak saja, Utang negara begitu melonjak, aset pengelolaan sumber daya alam ( SDA ) di Indonesia di kendalikan oleh 80 persen perusahaan negara luar, (baca; http://politikana.com/baca/2009/06/30/freeport-akar-separatisme-negara). Penanganan penegakan Hak Asasi Manusia jauh dari harapan; pembunuhan aktifis HAM Munir di blokade dengan putusan pengadilan membebaskan para penjahat HAM, pengusutan kematian Ondofolo ( pemimpin ) tradisional Bangsa Papua Alm. Theys H Eluay malah kasusnya di kubur begitu saja demi menjaga keutuhan negara yang rapuh saat ini. Ketimpangan inilah hasil dari instrumen politik dan membenarkan adanya dominasi neo-imperialisme.
Sejarah freeport selama berinvestasi dijadikan anak emas oleh pemerintahan terutama negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah negara yang paling melindungi Freeport dari segala usaha mengeruk kekayaan alam negeri Indonesia sendiri. Seperti sebuah dogma mematikan, perjalanan Freeport selama puluhan tahun di Papua-Indonesia sudah banyak bukti ketidakadilan yang terus dilindungi negara atas nama Undang-undang Investor. Belajar dari sejarah kepemilikan saham dan mata rantai kekuasaan di lingkaran Freeport, di Amerika Serikat saja, Freeport mendapat perlindungan istimewa secara Politik dari konstituen Politik Partai Republik dan para eks Jenderal di negeri Paman Sam pun di rekrut menjadi staf keryawan Freeport. Tradisi para petinggi militer melindungi Freeport di Amerika Serikat pun, budaya yang sama murni di terapkan bagi cabang Freeport di Indonesia ( FI ).
Jika saja freeport berada di era presiden pertama Indonesia Sukarno " SU " akan berbeda nasib Freeport di Indonesia. Sayangnya, Freeport berada di Indonesia setelah Presiden Sukarno digulingkan. Konsistensi bapak proklamator Indonesia ini terbukti dengan kebijakan investasi asing tidak diberikan ruang bagi mereka untuk masuk kedalam wilayah Indonesia. Kini, kegigihan Sukarno yang punya instrumen politik yang bernar-benar memihak kepada rakyat Indonesia dikala itu pupus sudah dengan instrumen kebijakan politik presiden " SUSU " sejak Suharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Perang melawan dominasi asing merupakan ruh yang terus di kumandangkan oleh sang proklamator bangsa. Soekarno, dalam Indonesia Menggugat, mengatakan bahwa siapakah yang bisa mengembalikan lagi kekayaan Indonesia yang diambil oleh mijnbedrijven partikelir, yakni perusahaan-perusahaan partikelir (swasta), sebagai timah, arang batu dan minyak. Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan tambang itu? Musnah-musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka!. Bagaikan membalik telapak tangan, kejayaan presiden Suharto menguburkan cita-cita Suakrno dan rakyat Indonesia. Investasi asing pun di ijinkan masuk melalui instrumen hukum Undang-undang penanaman modal asing ( UU PMA ) pada bulan Juli tahun 1967 satu produk hukum jaminan masuknya PT. Freeport ( freeport sulphur ) ke Tanah Papua. Jadilah inti pokok kebijakan segala urusan pertambangan dan investasi seluruh Indonesia terus mengacu pada produk hukum tetap ini. Dari segala aspek penjarahan aset kekayaan Indonesia, kedaulatan ekonomi bangsa begitu lemah sejak lahirnya instrumen hukum pertama dengan penandatanganan kontrak sepihak dan pribadi kroni cendana bersama PT. Freeport.
Freeport dimasa lalu dan sekarang sama-sama punya keistimewaan instrumen yang lunak. Walaupun kita telah melewati dinamika reformasi tahun 1998 dan berada dalam ruang otonomi khusus, dimana sering digambarkan bahwa otsus / otda sebagai mobil pribadi sebuah bangsa yang mandiri, merdeka. Toh, nyatanya mobil ( otsus ) maupun negara berdaulat indonesia justeru pengemudinya negara lain. Kelengahan negara yang begitu lunak terhadap investasi asing menimbulkan malapetaka kemanusian, kejahatan lingkungan hidup meningkat, keadilan ekonomi bangsa semakin suram. Tiap tahun ada saja tragedi bencana alam, nyawa penduduk sipil diterjang peluru nyasar entah di areal Tambang ataupun operasi-operasi kemanan perusahaan oleh para militer. Berlanjut kemudian, kapitalisasi kerusuhan atas nama stabilitas politik dan penegakan hukum semuanya demi satu tujuan, bahwa investasi perlu di lindungi negara ( baca juga dalam: http://andawat-papua.blogspot.com/2009/06/rekayasa-konflik-di-papua-demi.html ).
Nah, pemilihan umum baru saja berlangsung, para penguasa yang baru dipilih rakyat. Jika kemudian presidenya adalah SBY-Budiono, rekor dua periode jadi presiden punya power yang sama dengan masa lalunya Suharto memimpin hampir lima periode. Dua nama inisial " SUSU" inilah bagi freeport tetap diberikan keistimewaan. Ya, dalam rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode sebelumnya, tak ubahnya instrumen kebijakan mirip pendahulunya Suharto juga. Freeport tak bergeming dengan kebijakan Undang-undang Mineral dan Batubara yang baru. Mengutip Siaran Pers JATAM, WALHI, HuMA, ICEL, KIARA, KAU, SPI - 18 Desember 2008, "Seperti ular berganti kulit, UU Minerba akan melanggengkan rejim keruk cepat dan jual murah masa Orde Baru hingga pemerintahan SBY. Undang-Undang ini dibungkus asas dan tujuan yang tampaknya lebih baik, manusiawi dan peduli terhadap lingkungan, dengan memuat asas seperti keadilan, partisipatif, transparansi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tapi kenyataannya, pasal-pasalnya beresiko membahayakan keselamatan warga negara dan lingkungan sekitarnya".
Sangat nyata, bahwa pemerintahan hari ini pun ber-prilaku mengeluarkan kebijakan tambang yang tak ubahnya rezim sebelumnya. Ibarat berganti baju pada tubuh boneka yang sama, produk hukum undang-undang No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara tidak begitu fital bagi jaminan kemandirian ekonomi bangsa. Parahnya lagi, PT. Freeport di Tanah Papua tidak berpengaruh dengan kebijakan Undang-undang baru ini. Dimana soal kontrak karya telah dirubah menjadi sistem perizinan, toh Freeport tetap saja berpegang teguh pada sistem kontrak karya sesuai kontrak karya kedua yang dihasilkan. Omongkosong kan?, investasi Freeport di Papua berpegang teguh pada suprastruktur hukum RI, kebijakan hukum Indonesia malah tidak begitu bergigi merubah aspek perjanjian kontrak karya menjadi sistem perijinan.
Entah, rezim berganti Rezim yang di capai dengan anggaran negara yang banyak, pemilu membuat kas negara harus digunakan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi, tetapi sistem lunak investasi bagi investor asing terutama Freeport di Papua, bukti bahwa pergantian rezim hanyalah alat membumikan akar kolonialisme bagi rakyat Indonesia. Dan, selagi belum ada perangkat hukum yang benar-benar memihak pada keutuhan urusan ekonomi bangsa, selamanya negara terus di jual, rakyat terus di marginalkan dalam ruang ekonomi dan pelimpahan kekayaan alam kedalam junta ekonomi negara hanyalah stigma saja. Sejarah pasti menulis, jika tidak ada istrumen ekobnomi dan kemauan politik hari ini untuk menegaskan keberpihakan pengelolaan aset negara kepada kepentingan seluruh rakyat, maka sangat benar, bahwa Freeport dan Instrumen Presiden SUSU benar-benar mengakar dan akan menjadi firus kemiskinan dan kehancuran kedaulatan bangsa hari ini, akan datang dan selamanya. *fight for change*
Kehancuran akibat suprice produk hukum yang dihasilkan tidak benar ini berujung pada tragedi ekonomi dan politik melanda negara. Misalnya, selang berlangsungnya proses pemilihan presiden 2009, terjadi penembakan warga negara asing di areal Freeport ( 11 Juli 2009 ), dimana kasus yang sama terjadi di tahun 2002 dengan tuduhan pelakunya Antonius Wamang dan berujung pada tujuh warga Papua tak berdosa di jebloskan kedalam penjara. Dalam pemilu tahun 2009 juga, penembakan warga sipil Papua terjadi di pos batas RI-PNG, penduduk sipil di Kabupaten Nabire Papua tertembak, hingga aksi-aksi anarkisme lainya yang meluap pasca pemilu. Begitu juga, dalam alam demokrasi; penegakan HAM, keadilan ekologis dan kewenangan ekonomi bangsa yang semestinya jadi akar kedaulatan bangsa di abaikan begitu saja.
Simak saja, Utang negara begitu melonjak, aset pengelolaan sumber daya alam ( SDA ) di Indonesia di kendalikan oleh 80 persen perusahaan negara luar, (baca; http://politikana.com/baca/2009/06/30/freeport-akar-separatisme-negara). Penanganan penegakan Hak Asasi Manusia jauh dari harapan; pembunuhan aktifis HAM Munir di blokade dengan putusan pengadilan membebaskan para penjahat HAM, pengusutan kematian Ondofolo ( pemimpin ) tradisional Bangsa Papua Alm. Theys H Eluay malah kasusnya di kubur begitu saja demi menjaga keutuhan negara yang rapuh saat ini. Ketimpangan inilah hasil dari instrumen politik dan membenarkan adanya dominasi neo-imperialisme.
Sejarah freeport selama berinvestasi dijadikan anak emas oleh pemerintahan terutama negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah negara yang paling melindungi Freeport dari segala usaha mengeruk kekayaan alam negeri Indonesia sendiri. Seperti sebuah dogma mematikan, perjalanan Freeport selama puluhan tahun di Papua-Indonesia sudah banyak bukti ketidakadilan yang terus dilindungi negara atas nama Undang-undang Investor. Belajar dari sejarah kepemilikan saham dan mata rantai kekuasaan di lingkaran Freeport, di Amerika Serikat saja, Freeport mendapat perlindungan istimewa secara Politik dari konstituen Politik Partai Republik dan para eks Jenderal di negeri Paman Sam pun di rekrut menjadi staf keryawan Freeport. Tradisi para petinggi militer melindungi Freeport di Amerika Serikat pun, budaya yang sama murni di terapkan bagi cabang Freeport di Indonesia ( FI ).
Jika saja freeport berada di era presiden pertama Indonesia Sukarno " SU " akan berbeda nasib Freeport di Indonesia. Sayangnya, Freeport berada di Indonesia setelah Presiden Sukarno digulingkan. Konsistensi bapak proklamator Indonesia ini terbukti dengan kebijakan investasi asing tidak diberikan ruang bagi mereka untuk masuk kedalam wilayah Indonesia. Kini, kegigihan Sukarno yang punya instrumen politik yang bernar-benar memihak kepada rakyat Indonesia dikala itu pupus sudah dengan instrumen kebijakan politik presiden " SUSU " sejak Suharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Perang melawan dominasi asing merupakan ruh yang terus di kumandangkan oleh sang proklamator bangsa. Soekarno, dalam Indonesia Menggugat, mengatakan bahwa siapakah yang bisa mengembalikan lagi kekayaan Indonesia yang diambil oleh mijnbedrijven partikelir, yakni perusahaan-perusahaan partikelir (swasta), sebagai timah, arang batu dan minyak. Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan tambang itu? Musnah-musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka!. Bagaikan membalik telapak tangan, kejayaan presiden Suharto menguburkan cita-cita Suakrno dan rakyat Indonesia. Investasi asing pun di ijinkan masuk melalui instrumen hukum Undang-undang penanaman modal asing ( UU PMA ) pada bulan Juli tahun 1967 satu produk hukum jaminan masuknya PT. Freeport ( freeport sulphur ) ke Tanah Papua. Jadilah inti pokok kebijakan segala urusan pertambangan dan investasi seluruh Indonesia terus mengacu pada produk hukum tetap ini. Dari segala aspek penjarahan aset kekayaan Indonesia, kedaulatan ekonomi bangsa begitu lemah sejak lahirnya instrumen hukum pertama dengan penandatanganan kontrak sepihak dan pribadi kroni cendana bersama PT. Freeport.
Freeport dimasa lalu dan sekarang sama-sama punya keistimewaan instrumen yang lunak. Walaupun kita telah melewati dinamika reformasi tahun 1998 dan berada dalam ruang otonomi khusus, dimana sering digambarkan bahwa otsus / otda sebagai mobil pribadi sebuah bangsa yang mandiri, merdeka. Toh, nyatanya mobil ( otsus ) maupun negara berdaulat indonesia justeru pengemudinya negara lain. Kelengahan negara yang begitu lunak terhadap investasi asing menimbulkan malapetaka kemanusian, kejahatan lingkungan hidup meningkat, keadilan ekonomi bangsa semakin suram. Tiap tahun ada saja tragedi bencana alam, nyawa penduduk sipil diterjang peluru nyasar entah di areal Tambang ataupun operasi-operasi kemanan perusahaan oleh para militer. Berlanjut kemudian, kapitalisasi kerusuhan atas nama stabilitas politik dan penegakan hukum semuanya demi satu tujuan, bahwa investasi perlu di lindungi negara ( baca juga dalam: http://andawat-papua.blogspot.com/2009/06/rekayasa-konflik-di-papua-demi.html ).
Nah, pemilihan umum baru saja berlangsung, para penguasa yang baru dipilih rakyat. Jika kemudian presidenya adalah SBY-Budiono, rekor dua periode jadi presiden punya power yang sama dengan masa lalunya Suharto memimpin hampir lima periode. Dua nama inisial " SUSU" inilah bagi freeport tetap diberikan keistimewaan. Ya, dalam rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode sebelumnya, tak ubahnya instrumen kebijakan mirip pendahulunya Suharto juga. Freeport tak bergeming dengan kebijakan Undang-undang Mineral dan Batubara yang baru. Mengutip Siaran Pers JATAM, WALHI, HuMA, ICEL, KIARA, KAU, SPI - 18 Desember 2008, "Seperti ular berganti kulit, UU Minerba akan melanggengkan rejim keruk cepat dan jual murah masa Orde Baru hingga pemerintahan SBY. Undang-Undang ini dibungkus asas dan tujuan yang tampaknya lebih baik, manusiawi dan peduli terhadap lingkungan, dengan memuat asas seperti keadilan, partisipatif, transparansi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tapi kenyataannya, pasal-pasalnya beresiko membahayakan keselamatan warga negara dan lingkungan sekitarnya".
Sangat nyata, bahwa pemerintahan hari ini pun ber-prilaku mengeluarkan kebijakan tambang yang tak ubahnya rezim sebelumnya. Ibarat berganti baju pada tubuh boneka yang sama, produk hukum undang-undang No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara tidak begitu fital bagi jaminan kemandirian ekonomi bangsa. Parahnya lagi, PT. Freeport di Tanah Papua tidak berpengaruh dengan kebijakan Undang-undang baru ini. Dimana soal kontrak karya telah dirubah menjadi sistem perizinan, toh Freeport tetap saja berpegang teguh pada sistem kontrak karya sesuai kontrak karya kedua yang dihasilkan. Omongkosong kan?, investasi Freeport di Papua berpegang teguh pada suprastruktur hukum RI, kebijakan hukum Indonesia malah tidak begitu bergigi merubah aspek perjanjian kontrak karya menjadi sistem perijinan.
Entah, rezim berganti Rezim yang di capai dengan anggaran negara yang banyak, pemilu membuat kas negara harus digunakan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi, tetapi sistem lunak investasi bagi investor asing terutama Freeport di Papua, bukti bahwa pergantian rezim hanyalah alat membumikan akar kolonialisme bagi rakyat Indonesia. Dan, selagi belum ada perangkat hukum yang benar-benar memihak pada keutuhan urusan ekonomi bangsa, selamanya negara terus di jual, rakyat terus di marginalkan dalam ruang ekonomi dan pelimpahan kekayaan alam kedalam junta ekonomi negara hanyalah stigma saja. Sejarah pasti menulis, jika tidak ada istrumen ekobnomi dan kemauan politik hari ini untuk menegaskan keberpihakan pengelolaan aset negara kepada kepentingan seluruh rakyat, maka sangat benar, bahwa Freeport dan Instrumen Presiden SUSU benar-benar mengakar dan akan menjadi firus kemiskinan dan kehancuran kedaulatan bangsa hari ini, akan datang dan selamanya. *fight for change*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar