DIATAS BATU INI SAYA MELETAKAN PERADABAN ORANG PAPUA, SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.
( Pdt. I.S.Kijsne Wasior 25 Oktober 1925 )

Kamis, 22 April 2010

WALHI GUGAT RUU MINERBA PEMERINTAH PASANG KUDA KUDA

Oleh: detikfinance.com 22 April 2010

Hari Bumi, Walhi Cs Ajukan Judicial Review UU Minerba ke MK- Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) akan mengajukan uji materiil (judicial review) UU Nomor 4 tahun 2009 mengenai Mineral dan Batubara (Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini.

"Kami akan daftarkan JR terhadap UU Minerba pada hari ini karena kami mengambil momentum peringatan hari bumi. Rencananya pada pukul 10.00 Wib, kami akan melakukan aksi memperingati hari Bumi dulu, baru setelah itu ke MK," ujar Pengkampanye Tambang WALHI, Pius Ginting saat dihubungi detikFinance, Kamis (22/4/2010).

Menurut Pius, kehadiran UU Nomor 4 tahun 2009 masih belum mengakui hak masyarakat atas ruang hidup terbebas dari usaha penambangan. Perilaku perusahaan tambang yang telah merusak luas lingkungan dan ruang hidup seperti Bangka-Belitung, Kalimantan, Pulau Gebe Halmahera Utara, daerah sekitar pegunungan Nemangkawi di Papuan, Teluk Buyat di Sulawesi Utara, dan Teluk Senunu di Nusa Tenggara Barat, dimungkinkan terus terjadi.

Selain itu, masyarakat khususnya yang berada di sekitar berada di bawah ancaman pemarjinalan dan kriminalisasi oleh UU pertambangan yang baru tersebut.

Pasal-pasal yang akan diusulkan untuk di uji materi oleh MK yaitu, pasal Pasal 6 ayat 1 huruf e, berkaitan dengan pasal 10, serta pasal 162 dalam UU Minerba.

Berdasarkan pasal 6 ayat 1 huruf e UU Minerba menyebutkan bahwa, kewenangan pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah menetapkan Wilayah Pertambangan dilakukan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

"Itu artinya, penetapan wilayah pertambangan bersifat dari atas sehingga masyarakat yang terkena dampak langsung tidak diperhatikan dalam pasal ini," jelas dia.

Meskipun dalam pasal ini akan berkoordinasi dengan Pemda dan DPR, namun masalahnya selama ini suara rakyat yang mempertahankan ruang hidup untuk tetap lestari juga kerap berbeda dengan pendapat pemerintahan dareah maupun wakil rakyat yang telah mereka pilih.

"Contohnya Bupati Pati yang mengancam masyarakat yang menolak wilayah mereka menjadi wilayah pertambangan. Jadi Pemda tidak selalu dapat menampung aspirasi masyarakat setempat," papar dia.

Begitupun dalam pasal 10 UU ini yang menyatakan penetapan Wilayah Pertambangan dilaksanakan:
a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b. secara terpadu dengan rnemperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan
c. dengan rnemperhatikan aspirasi daerah.

Menurut Pius, pasal ini sekilas tampak bagus. Kata partisipasi masyarakat telah diadopsi oleh tata pemerintahan Indonesia setidaknya sejak tahun 2002.Tapi kenyataanya, hal tersebut belum cukup memastikan diakuinya hak masyarakat untuk memilih corak ekonomi lebih lestari di luar pertambangan.

Kedautalan rakyat untuk menentukan ruang hidupnya kerap dilanggar, seperti yang terjadi di Kulon Progo-Yogyakarta, Teluk Rinondoran-Sulawesi Utara, Sukolilo-Jawa Tengah.

"Kami merasa tidak cukup dengan hanya adanya kata partisipatif untuk memastikan hak-hak masyarakat tidak dilanggar. Perlu secara tertulis dinyatakan penentuan wilayah pertambangan harus mendapatkan persetujuan masyarakat yang terdampak langsung operasi pertambangan," ungkapnya.

Dengan begitu, lanjut Pius, degradasi lingkungan akibat operasi tambang akan dapat dikurangi dengan diakuinya persetujuan masyarakat (hak veto) untuk penetapan sebuah wilayah pertambangan.

Pasal lainnya yang akan diminta untuk ditinjau ulang adalah pasal 162 UU Minerba yang berbunyi :

"Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan Khusus yang telah memenuhi syarat-syarat [telah selesai membebaskan tanah] dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1tahun atau denda paling banyak 100 juta rupiah," pungkas Pius.

Sebelum UU Minerba keluar, lanjut Pius, sebenarnya memang sudah ada beberapa aktivis dan masyarakat dikriminalisasi oleh perusahaan tambang. Namun, dengan adanya pasal karet tersebut, peluang masyarakat untuk dikriminalisasi makin dilapangkan.

Padahal hak dalam pasal 28C ayat 2, dan Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 menyebutkan "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya", dan "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum," diakui oleh konstitusi.

"Banyak masyarakat yang protes karena persoalan lingkungan dan tanah, dengan adanya pasal ini maka itu bisa dikriminalisasi. Tidak hanya masyarakat, namun juga aktivis lingkungan juga," katanya.

Dalam mengajukan judicial review ini, WALHI menggandeng Huma, KPA, Kiara, PBHI dan Solidaritas Perempuan serta sejumlah masyarakat sekitar kawasan tambang.

(epi/qom)

Sementara itu...

Pemerintah Siap Tempur Hadapi Judicial Review UU Minerba - Jakarta - Pemerintah siap menghadapi gugatan uji materi (judicial review/JR) UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yang diajukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Nanti kita akan bertempur di sana," ujar Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Kementerian ESDM, Bambang Setiawan kepada detikFinance, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (22/4/2010).

Bambang mengaku tidak mempermasalahkan gugatan JR yang diajukan Walhi. Menurut dia, siapapun berhak untuk mengajukan judicial review terhadap UU apapun, termasuk terhadap UU Minerba.

"Silakan saja, itu hak mereka. Pemerintah dan DPR tidak dalam posisi menghambat itu," kata dia.

Namun ia tetap berpendapat, bahwa pasal-pasal dalam UU yang baru tersebut jauh lebih baik, jika dibandingkan dengan UU sebelumnya.

"Kalau UU ini tidak diganti, lebih banyak lagi yang mengeluh karena UU yang lama lebih menguntungkan pemerintah pusat," ungkapnya.

Sementara itu, Menteri ESDM, Darwin Zahedy Saleh mengatakan akan menjadikan hasil dari JR terhadap UU Minerba sebagai masukan, jika UU itu jadi direvisi.

"Yang jelas UU Minerba kita akan revisi di tempat-tempat yang perlu. Kalau ada masukan dari Walhi, kita akan pertimbangkan," ujar Darwin dengan singkat.

Seperti diketahui, Walhi telah mengajukan uji materiil UU Minerba ke MK pada hari ini. Menurut Walhi, kehadiran UU Nomor 4 tahun 2009 masih belum mengakui hak masyarakat atas ruang hidup terbebas dari usaha penambangan.

Perilaku perusahaan tambang yang telah merusak luas lingkungan dan ruang hidup seperti Bangka-Belitung, Kalimantan, Pulau Gebe Halmahera Utara, daerah sekitar pegunungan Nemangkawi di Papua, Teluk Buyat di Sulawesi Utara, dan Teluk Senunu di Nusa Tenggara Barat, dimungkinkan terus terjadi.

Selain itu, masyarakat khususnya yang berada di sekitar berada di bawah ancaman pemarjinalan dan kriminalisasi oleh UU pertambangan yang baru tersebut.

Adapun pasal-pasal yang akan diusulkan untuk di uji materi oleh MK yaitu, pasal Pasal 6 ayat 1 huruf e, berkaitan dengan pasal 10, serta pasal 162 dalam UU Minerba.

(epi/qom)

Tidak ada komentar:

KOLOM KOMENTAR

PAPUAN PICTURE

Arkilaus Baho

FREEPORT PERUSAHAAN TERBURUK DI DUNIA

KOTAK PESAN