DIATAS BATU INI SAYA MELETAKAN PERADABAN ORANG PAPUA, SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.
( Pdt. I.S.Kijsne Wasior 25 Oktober 1925 )

Selasa, 17 Agustus 2010

MERDEKA VERSI MEREKA


Oleh: Arkilaus A. Baho

Usia Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke 65 sudah dirayakan. Apa sih yang dimaknasi dari merdeka. Oleh banyak kalangan, dirgahayu RI mendapat beragam corak dan makna tentang merdeka “ Merdeka versi mereka”. Apa yang terucap dari eks pejuang 45 tentu beda dengan generasi reformasi di era globalisasi ini. Iya, saya ini mantan pejuang 45 tapi tanah saja tidak punya, air saja harus beli, ungkap seorang bapak pejuang 45 jelang perayaan hari proklamasi 17 Agustus. Oh..Indonesia tanah air mereka dalam memaknai merdeka.

Menurut mereka, "Seharus perkebunan sawit yang ada sebagian milik perusahaan dan sebagian lagi milik rakyat, namun kenyataannya sekarang ini sebagian besar perkebunan sawit milik perusahaan," kata kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan (Distanbunnak) Babel, Zamdani, di Pangkalpinang. Lanjut lagi kata mereka, Sebagian besar warga di tujuh kecamatan, di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, tidak mengibarkan bendera Merah Putih pada 17 Agustus 2010, padahal pemerintah kabupaten setempat sudah mengimbaunya.

Merdeka menurut mereka di pucuk kekuasan selalu saja diwarnai dengan huru hara merah putuh, harus ada pengibaran, harus ada upacara, harus ada penghormatan. Berbeda dengan merdeka menurut para petani yang lahanya disabotase perusahaan. Bagi mereka, perusahaan jangan kuasai semua lahan milik mereka nanti mereka tidak dapat pekerjaan dan penghasilan.

Suasana kemerdekaan di istana Negara pada saat upacara pun berbeda dengan suasana 17 Agustus di perkampungan pedalaman Papua. Kalau di Istana, pada gegap gempita, semangat patriotisme meluap-luap menyambut detik-detik proklamasi. Bahkan pekikan prolamasi pun bisa didengar langsung oleh hadirin dan para undangan. Apakah pekikan dan patriotisme proklamasi di istana Negara juga didengar oleh mereka para petani yang menderita karena lahan mereka disabotase perusahaan. Apakah pekikan merdeka di istana juga di ikuti suku koroi di Papua?. Yang jelas tidak ada mengheningkan cipta di hutan rimba Papua tempat suku korowai berdomisili. Begitu juga, tidak ada hembusan Indonesia raya di areal para petani sawit, atau tujuh kecamatan yang tidak mengibarkan bendera merah putih.

Runtuhnya nasionalisme juga akibat tidak maksimalnya pemerintah bahkan rezim sendiri yang tidak mengerti apa itu makna merdeka. Yang ada hanya tebar pesona di panggung kekuasaan, yang ada hanya tebar janji akan dan akan. SBY saja pidato 16 Agustus di DPR RI penuh dengan kalimat “ AKAN”. Orang awam jadi semakin tidak mengerti arti merdeka. Merdeka menurut mereka jadi tidak berarti apa-apa. Iya, menurut mereka, kasus konflik SDA di Papua “ Freeport “, kasus hukum skandal Century, rekening gendut polisi, masalah hutan dan hasil kekayaan alam lainya dibabat habis investot asing, masalah utang luar negeri. Semuanya menjadi misteri seketika pemerintahan SBY penuh pencitraan. Nah, itulah karakter merdeka menurut mereka “ pemerintahan citra-SBY-Boed”.

Rantai merdeka menurut para sejarawan Negara ini, jaman presiden sukarno, seluruh rakyat antusias merayakan kemerdekaan 17 Agustus. Apa sih yang terjadi era Sukarno sehingga sebangsa merasakan adanya senasib. Yah, Beliau anti kapitalisme, imperialisme dibersihkan dari tataran proklamasi Indonesia raya. Malah yang banyak mengeluh adalah antek-antek kapitalisme. Rantai kemerdekaan yang disambut antusias warga Negara ini pupus dan diputuskan sejak cengkraman kapitalisme baru menunjukan batang hidung mereka lewat Freeport dari Amerika Serikat. Perawan kemerdekaan itu dihancurkan, terbukalah seluas-luasnya hutan, tanah, air, yang menyimpan kekayaan alam rakyat Indonesia di perkosa, dijarah, dibabat habis semua.

Itulah merdeka versi mereka. Orde baru sampai orde gurita cikeas yang berwatak keong racun, sama-sama mengangap merdeka sama dengan datangkan perusahaan menjarah negeri ini, dengan harapan, tetesan capital mampu mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, ketentraman, dan keadilan. Apa yang terjadi?. Antusias warga menyambut dirgahayu menjadi drastic menurun. Kebanyakan rakyat Indonesia focus selesaikan masalah mereka sendiri karena mereka anggap pemerintah tidak ada. Bahkan, perayaan kemerdekaan pun dilakukan dengan berbagai cara menurut mereka. Itupun bersyukur dirayakan, tapi kebanyakan apatis saja.

Enam puluh lima tahun Indonesia merdeka. Tetapi diPapua atau daerah lainya pemerintah harus gunakan cara-cara persuasive untuk memaksa warga berpartisipasi. Kesbangpol adalah pihak yang merasa ternodai bila saja seruan mereka untuk perayaan kemerdekaan tidak dilaksanakan.

Nah, merdeka versi mereka itulah kewajaran dalam pembelajaran bagi Indonesia yang pluralism, kebinekaan dan pancasilais, Sosialis. Ingat slogan berbeda-beda tetapi tetap satu. Iya, walaupun hari ini ( 17 Agustus ) tidak hormat bendera atau tidak kibarkan bendera, tetap saja tinggal di Negara Indonesia toh. Yang jadi persoalan adalah, apatisme warga yang kian buntut akibat banyaknya masalah yang dihadapi rakyat sama saja Indonesia bukan Negara merdeka. Karena rakyat semakin menderita tanpa penyelesaian untuk mengakhirinya. Negara bertujuan untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran, itulah tujuan mendirikan Negara. Maka itu, bila selamanya tidak bisa merdeka dan berdaulat, selamanya tidak ada Negara.

Tidak ada komentar:

KOLOM KOMENTAR

PAPUAN PICTURE

Arkilaus Baho

FREEPORT PERUSAHAAN TERBURUK DI DUNIA

KOTAK PESAN