DIATAS BATU INI SAYA MELETAKAN PERADABAN ORANG PAPUA, SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.
( Pdt. I.S.Kijsne Wasior 25 Oktober 1925 )

Selasa, 07 September 2010

DAMN Freeport Ginandjar Kartasasmita


Oleh: Majalah Tempo Online

20 Oktober 1998

JUDUL: Bau Ginandjar, Bangkai Siapa

Akhirnya Ginandjar Kartasasmita menghadap Jaksa Agung. Hanya disertai seorang ajudan, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri itu memasuki Gedung Bundar, Senin, 19 Oktober pagi. Langkahnya lebar dan mantap. Ia tampak begitu percaya diri.

Ginandjar datang ke kantor Kejaksaan Agung bukan karena dipanggil. Ia hadir atas inisiatif sendiri. Ia ingin memberikan laporan sekaligus menyerahkan data seputar desas-desus korupsi yang belakangan ini santer dituduhkan kepadanya.

Sementara itu, siangnya, Direksi PT Freeport Indonesia (FPI) bertemu dengan DPR. Perusahaan pengelola tambang emas terbesar di Indonesia itu diundang untuk memberikan keterangan soal yang sama. Itulah perkembangan terbaru dari kasus yang paling hangat saat ini: dugaan korupsi di FPI. Dan Ginandjar, orang yang paling bertanggung jawab atas penyehatan perekonomian Indonesia, digosipkan terlibat.

Ribut-ribut ini bermula dari berita The Wall Street Journal akhir September lalu. Harian bisnis dan ekonomi ternama itu mengulas kedekatan Menteri Ginandjar dengan James "Jim Bob" Moffett, pemilik, pemimpin, dan bos besar di Freeport McMoRan Copper & Gold (FMCP). Perusahaan publik yang terdaftar di bursa saham New York tersebut merupakan pemegang saham terbesar di FPI.

Cerita pertemanan itu diramu dengan mengalirnya sejumlah fasilitas dari Freeport ke tangan para pengusaha lokal. Dengan sekali baca terlihat jelas: para pengusaha lokal itu merupakan sanak kerabat, juga teman-teman Ginandjar. Saking dekatnya, mereka dikenal dengan sebutan the Ginandjar?s Boys.

Adakah kaitan antara berjayanya Ginandjar?s Boys di Freeport dan persahabatan Pak Menteri dengan "Bos" Jim? Wall Street tak menjawab tuntas. Tapi itulah yang kemudian diributkan orang.

Suasana makin panas ketika Jeffrey Winters, guru besar Northwestern University, AS, mengutip cerita ini dalam jumpa pers soal korupsi dana Bank Dunia, di Jakarta. Menjawab pertanyaan apakah Ginandjar pantas memimpin tim penyidik penyelewengan itu, ia menjawab, "Saya kira dia tidak pantas." Ketimbang Ginandjar, Winters lebih baik memilih, "Orang yang tak punya question mark di kepalanya."

Kalimat itu rupanya memanasi kuping sejumlah pejabat. Presiden Habibie sendiri kabarnya tersinggung berat. "Winters menghina Pemerintah Indonesia," katanya seperti dikutip Ginandjar. Habibie bahkan minta aparat keamanan mengambil tindakan. Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib sendiri berpendapat, pernyataan Winters tak berdasar.

Reaksi keras pemerintah ini bukan cuma membuat kaget. Lebih dari itu, dugaan orang tambah menjadi-jadi. Spekulasi merebak. Seperti borok lama yang tiba-tiba terbuka, bau kasus ini menjalar ke mana-mana. Ada yang menilai, ini semua sekadar manuver menjatuhkan Ginandjar. "Freeport itu cerita lama," kata seorang pengusaha, "Tapi ini sengaja diledakkan lagi agar ambisi Ginandjar terjegal." Wah, wah!

Apa boleh buat. Agaknya, inti persoalan makin kabur. Saking banyaknya teori konspirasi, orang malah lupa masalahnya: ada apa sih sebenarnya di Freeport? Harus diakui, bukan soal mudah untuk menunjukkan bukti-bukti korupsi. Yang tersedia hanya sejumlah petunjuk dan pertanyaan.

Pada 1988, 15 tahun sebelum masa "sewa-tambangnya" berakhir, Freeport menemukan Grasberg. Ini adalah bukit timbunan emas, perak, dan tembaga, dengan cadangan terbukti senilai US$ 60 miliar. Hebatnya, Grasberg merupakan pertambangan terbuka terhampar di permukaan tanah. Tak perlu mengebor atau bahkan menggali, tinggal mengeduk. Pendek kata, Grasberg akan menyulap nasib Freeport dari penambang sulfur kelas menengah menjadi pemain raksasa industri tambang dunia.

Tapi, untuk mengelolanya, Freeport butuh duit. Dengan sisa masa kontrak tinggal 15 tahun, sulit baginya mendapatkan kredit. Ketika itulah Bob Moffett mendekati Ginandjar. Menteri baru ini, menurut Moffet, gampang bersahabat. Dengan cepat mereka segera akrab: saling mengunjungi, main golf, dan makan malam di restoran.

Dalam pola hubungan sedekat itu, Moffet minta masa kontraknya diperpanjang dan kawasan tambangnya diperluas. Sebagai ganti, Ginandjar minta perubahan isi kontrak. Ginandjar ingin tarif pajak tambang dinaikkan, industri peleburan tembaga harus dibangun di dalam negeri, dan Freeport mesti menaikkan kepemilikan saham "nasional". Ketika itu, saham FPI dikuasai FMCG. Perusahaan publik yang tercatat di bursa New York ini memiliki 90 persen saham, tapi cuma 10 persen yang disisakan untuk pemerintah Indonesia. Nah, porsi nasional ini harus ditambah sampai 20 persen sebelum tahun 2001.

Akhirnya orang tahu, sisa 10 persen itu jatuh ke tangan Bakrie. Lalu mengapa Bakrie--bukan pemerintah, BUMN, atau pengusaha swasta lain? Tak ada jawaban yang meyakinkan. Sumber TEMPO yang tahu persis soal pengalihan saham Freeport itu mengatakan, ketika itu Ginandjar sudah menawari Menteri Keuangan apakah pemerintah berniat membeli 10 persen saham Freeport. Tapi Sumarlin, Menteri Keuangan saat itu, kabarnya menolak--entah mengapa.

Yang pasti, sejak saat itu, proses "nasionalisasi" saham Freeport berlangsung kilat. Tiba-tiba, hanya sehari setelah kontrak karya baru diteken, Desember 1991, Bakrie membayar US$ 212,5 juta untuk 10 persen saham Freeport. Dananya sebagian besar diperoleh dari utang yang dijamin oleh Freeport. Ini merupakan transaksi bisnis yang kurang lazim--setidaknya kalau berdasarkan pertimbangan untung sama untung (lihat boks: Ada Udang di Balik Freeport). Lebih aneh lagi, setahun kemudian, FMCG kembali menebus separo dari saham yang dikuasai Bakrie, dengan harga dua kali lipat.

Apakah Freeport ditekan untuk menerima Bakrie? Tak ada yang berani memastikan. Hanya ada sedikit petunjuk. Menurut pengakuan Direktur Jenderal Pertambangan Umum Kosim Gandataruna, adalah Ginandjar yang memperkenalkan Bakrie pada Bob Moffett. Bahkan, menurut sumber TEMPO, beberapa hari sebelum transaksi, Ginandjar sudah memberi tahu Kosim bahwa Bakrie yang akan mengambil saham Freeport. "Tolong diselesaikan," begitu kabarnya perintah Pak Menteri kepada sang Dirjen. Benarkah ada perintah itu? Sayang sekali, Kosim sendiri keberatan menjawab soal itu.

Ginandjar sendiri mengaku, ia memang mengenalkan Bakrie kepada Moffett. Tapi cuma sebatas itu. Kepada TEMPO ia membantah keras telah memberikan rekomendasi kepada Bakrie atau "menekan" Freeport, apalagi menerima sesuatu dari transaksi yang luar biasa ini. "Satu sen pun saya tak terima. Cobalah cek," kata Ginandjar.

Selain soal pengalihan saham kepada Bakrie, Ginandjar juga dikaitkan dengan beberapa proyek yang "cari makan" di Freeport. Catur Yasa, misalnya. Perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki adik Ginandjar itu mendapat "jatah" mengelola dan memelihara pembangkit listrik Freeport. Apakah ini juga berkat sang kakak? Lagi-lagi, Ginandjar membantah. Ia mengaku tak tahu adiknya ikut tender. Ia baru tahu belakangan, setelah proyek itu dimenangi Catur Yasa.

Ginandjar hanya mengaku tak bisa melarang keluarganya ikut berbisnis. Juga di departemen tempat ia memimpin sebagai menteri. Sepanjang mereka mengikuti peraturan tender secara terbuka, katanya, "Ya, silakan saja."

Sulit dibantah, inilah kusutnya kasus korupsi di Indonesia. Kendati banyak sinyal, bukti sulit ditemukan. Tapi itu bukan berarti mereka tak bersalah. Bekas Menteri Pertambangan Mohamad Sadli punya perumpamaan yang bagus soal ini. "Baunya ada, tapi bangkainya tak ketemu," katanya.

Karena itu, ada yang usul, mereka yang diduga korup harus bisa membuktikan dirinya bersih. Tapi Ginandjar tak setuju. "Itu melanggar asas praduga tak bersalah," katanya. Ia merasa pembuktian terbalik akan sangat merepotkan dan menyulitkan mereka yang dituduh. "Seseorang yang melakukan pembunuhan saja harus dibuktikan dulu kesalahannya," katanya.

Tampaknya, kasus korupsi di Indonesia memerlukan lebih dari sekadar pembuktian. Tapi harus ada kemauan politik yang kuat untuk bersama-sama mengakhiri semua ini. Kalau itu dilakukan, boleh jadi, kasus Ginandjar hanyalah sebuah awal.

DSI, Bina Bektiati, Mustafa Ismail

Tidak ada komentar:

KOLOM KOMENTAR

PAPUAN PICTURE

Arkilaus Baho

FREEPORT PERUSAHAAN TERBURUK DI DUNIA

KOTAK PESAN