DIATAS BATU INI SAYA MELETAKAN PERADABAN ORANG PAPUA, SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.
( Pdt. I.S.Kijsne Wasior 25 Oktober 1925 )

Sabtu, 16 Oktober 2010

PAPUA MAU DIBAWA KEMANA


Oleh : ARKILAUS BAHO

Gunung Nemangkawi di Timika sudah banyak lubang dan terowongan. Hasil emas, tembaga, perak dan uranium dibawa ke Amerika dan Indonesia. Lalu penduduk di atas gunung bijih tersebut dibawa ke dataran rendah kemudian punah dan tidak berkembang secara teratur. Sama halnya, Status politik Papua dibawa atau dialihkan kepada Indonesia dengan mengalihkan suatu peristiwa PEPERA 1969. Otonomi Khusus pun dibawa lari kepada kelas tertentu saja dan bukan rakyat penghuni negeri tersebut. Supaya tidak berkembang, orang Papua harus menahan benturan-benturan yang dibangun baik secara politis maupun kasat mata. Operasi Militer, Politik adu domba, rasialis yang merupakan budaya eropanis dapat berkembang subur. Ribuan transmigran sudah ada di Papua, tetapi Papua sebagai ladang penghasil pertanian belum ada dalam sejarah bangsa. Artinya, tujuan transmigrasi hanyalah pola imitasi Kesatuan Negara saja. Kalau pun ada orang Jawa atau Batak di Papua yang menjadi ukuran nasionalisme NKRI, konsep itu gagal.

Pulau Papua resmi direbut dan klimaksnya adalah Liga bangsa-bangsa abad 20, yang berhasil membagi satu pulau menjadi dua Negara berbeda. Perbedaan ini dapat di pandang pada pola cengkraman politik dan kedaulatan ekonomi masing-masing. Papua Nugini milik Inggris dan Papua Barat milik Belanda. Untuk memelihara kepentingan ekonomi dan politik di wilayah yang berhasil dibagi ini, Australia diberi kewenangan untuk kendali atas PNG, sedangkan Papua Barat diberi kepada Indonesia untuk berkuasa. Varian globalisasi abad 21 berhasil mendesain corak yang sempurna dan merasuki dua wilayah yang mayoritas dihuni penduduk Melanesia. Berbeda dengan perebutan Papua Timur, Papua Barat diduduki oleh gelombang pendudukan yang paling rumit. Karakter politik Papua di abad 21 tentu sudah nyata sekarang, bahwa upaya perebutan Papua Barat tidak terlepas dari gejolak perang dunia I-II, gelombang blok politik kapatalis ( Barat ) dan sosialisme ( Timur ) bersitegang. Ikon penentu Papua diserahkan kepada Belanda dibawah bendera Indonesia adalah Freeport.

Mimpi untuk kejayaan bagi Freeport terwujud sudah. Kita dapat memastikan bahwa pada saat penyerahan Papua, rencana-rencana sudah siap untuk beralih ke ekploitasi besar-besaran kekayaan mineral di wilayah ini. Tekanan Nasionalisasi Sukarno juga berdampak luar biasa bagi keinginan Freeport menguasai pegunungan bijih kartens yang mencolok mata. Awal tahun 1960 disaat itulah Freeport, “ freeport suplur “, memainkan peran sentral untuk mengambil alih dalam perebutan Papua kedalam dominasi politik. Tujuan tindakan ini bagi kemajuan perusahaan logam berharga Amerika itu dikemudian hari, dan merupakan sebuah proyek pengembangan dibawah bendera kolonial.

Komitmen untuk mendukung kemajuan orang Papua tidak ada dalam kamus perebutan wilayah ini dan sampai sekarang semakin nyata kapitalisasi dalam era globalisasi. Sumber utama rantai penguasaan Papua dipandang penting hanyalah sebatas sumber daya alam. Pokok eksploitasi yang menjadi tujuan utama ekspansi kepentingan ekonomi dan politik sampai pada saat ini, telah menjadikan Indonesia sebagai ikon Negara demokrasi yang mau berupaya membangun corak baru di bumi Papua Barat. Sayangnya, kehadiran Indonesia atas Papua hanya bercokol dalam moncong kepentingan membangun Papua atas dasar ide dan program negara-negara yang menyerahkan Papua kepada NKRI. Kehancuran baru bagi orang Papua dideteksi dengan adanya gelembung transmigrasi, masuknya penyakit modern sampai pada kekuatan tangan besi ( industrialisasi ) yang berkuasa atas penghancuran Papua dari sebelumnya berpola nomaden.

Dinasti koloni yang dibangun atas Papua ini yang kemudian kita kenal sebagai peradaban politik dari berbagai kapitulasi persoalan yang berlarut-larut dan mengorbankan orang Papua. Plebelisit Papua tahun 1969 hanya taktik demokrasi yang tidak memenuhi ruh demokrasi orang Papua dalam menyampaikan pendapat. Pola yang sama dikaji dalam penyelenggaraan Otsus di era abad 21 tahun 2001 hingga sekarang. PEPERA ( penentuan pendapat rakyat ) hanya mengikutertakan orang-orang Papua yang dibuat senang oleh koloni saja. Begitu juga dengan Otsus yang memanjakan kelompok elite. Rakyat Papua sengaja dipelihara dalam dua kelompok warga. Warga senang-senang dan warga menderita dengan tujuan nasonalisme perubahan di Papua diperkecil, kecintaan akan nasionalisme orang Papua menjadi tidak begitu penting sehingga menuju pada kehancuran peradaban.

Dari Kapling Koloni Sampai Ekspansi Ekonomi

Dalam kacamata persaingan koloni, Papua berbeda dalam bentuk penguasaan dan pendudukan bagi pola pengambilalihan Papua. Mulanya diawali dengan ekspedisi para pemburu rempah-rempah. Perdagangan rempah-rempah belum memiliki niat menguasai Papua sebagai satu wilayah koloni baru. Dalam pikiran para pelaut, kerang dan benda-benda bernilai yang miliki harga mahal pada jaman itu saja yang dilirik. Bahkan orang Papua yang berhasil digarap dipekerjakan untuk membantu membawa rempah-rempah saja. Datanglah pola dan niat baru atas wilayah ini, pasca meluasnya perang dingin. Setelah ditemukannya Papua, misi yang pertama adalah perjalanan agama-agama samawi yang menjalankan ajaran ibrahimik. Ajaran Ibrahimik yang dikenal sebagai Yahudi, Kristen dan Islam.

Pandangan terhadap Papua secara politis kemudian berubah ketika dari lautan nampak pegunungan Bijih di Pegunungan Tengah Papua yang sekarang dikuasai Freeport. Cartens, pelaut asal inggris ini menemukan pegunungan salju yang dilihatnya dari laut. Ia kemudian melaporkan hasil temuannya kepada para misi koloni. Papua didatangi dari berbagai kalangan. Laporan-laporan tentang kondisi mineral wilayah ini kemudian memulai sebuah babak baru niat menguasai Papua. Belanda yang sudah lama bernaung dan mencengkeram tanah jawa, kemudian melirik Papua sebagai ladang baru untuk memperluas kekuasaanya. Mulanya Papua hanya dianggap Belanda sebagai tempat aman bagi pendirian pos pemerintahan untuk maksud tertentu saja. Namun, setelah datangnya Jepang dan Portugis, konfrontasi untuk menjadikan Papua sebagai Tanah Surga bagi eksploitasi menjadi panas.

Bagaimanapun juga, kehadiran Indonesia sekarang di Papua hanyalah korban penitipan Papua kepada Negara ini. Sebab Papua sudah dianggap suatu lahan bebas yang suatu saat akan dijajaki. Frustasi atas kelimpahan kekayaan alam yang hanya dapat dilihat dengan mata tanpa pengukuran teknologi, satu babak baru ide Negara muncul disini. Tidaklah sempurna kalau Papua yang pada waktu penjajakan masih dalam ruh nomaden ini kemudian dipacu dalam semangat demokrasi universal tanpa suatu proses pendidikan yang matang. Buntutnya adalah satu dari ribuan orang Papua yang dianggap berhasil dibina koloni dijadikan ikon mengatasnamakan rakyat di pulau tersebut. Wakil-wakil Papua yang telah jinak ini dihadirkan dalam berbagai perundingan dalam usaha-usaha perebutan Papua oleh kalangan koloni.
Penulis Arsip Papua asal Belanda, P.J.Drooglever dalam bukunya yang berjudul Tindakan Pilihan Bebas “ Orang Papua Dan Penentuan Nasib Sendiri” diterjemahkan oleh Penerbit dan Percetakan Kanius Yogyakarta, terungkap secara jelas bagaimana keinginan koloni negara-negara barat mencoba merebut Pulau Papua. Garis batas kemudian ditarik atas kesepakatan sepihak pihak luar; Inggris dan Belanda. Jadilah Papua Nugini diwujudkan dalam satu Negara Baru dibawah rantai Inggris Raya, sedangkan Papua Barat dijadikan kuda hitam saja tanpa penempatan satu status positif seperti PNG.

Untuk memberi status positif dalam hal sebuah Negara, tidak akan diberikan tanpa satu landasan sistem ekonomi politik yang membayangi. Berlomba sudah pejuang Papua dicengkeram oleh pola pikir varian Negara koloni moderen saat ini. Kekuatan aktor pendukung koloni Belanda diusir di era tahun 80an oleh antek Amerika di Indonesia “ Alm. Suharto “. Sisa-sisa Belanda bersih dari Papua. Pada umumnya, Negeri Belanda adalah sebagai tempat pelarian sampai sekarang. Dukungan bagi petinggi Papua pun dijajaki negara-negara barat. Hari ini ada pejuang Papua yang dilindungi Negara-negara seperti Australia, Amerika, dan sebagainya, tidak disangka mereka adalah ikon Papua yang terus dididik untuk membawa ruh Negara tersebut menjadi acuan di Papua. Begitu juga, ruang-ruang konsolidasi sengaja dibuka oleh Negara-negara rakus akan Papua. Misalnya saja Hearing Anggota Senat Amerika dengan sejumlah orang Papua hanyalah politik cuci muka AS terhadap dunia akibat restorasi perusahaan AS “ Freeport” dianggap buruk dan merusak tatanan ekologi rakyat Papua. Boleh dihitung, berapa orang Papua yang dipelihara Negara-negara barat saat ini yang punya andil, dan cukup berbahaya dalam penentuan arah politik Papua.

Proses pemerdekaan Papua ditengah pengkaplingan ekonomi sekarang, harus dipandang sebagai bagian terpenting dalam usaha pencokolan Tanah ini kearah penjarahan babak baru. Entitas politik kemerdekaan rakyat Papua sudah dijarah dalam babak sebelum perebutan Papua, sampai pada tahapan sekarang harus dikurangi dominasi kaum kapitalisme yang telah gagal menunjukan kedaulatan rakyat di dunia. Varian kapitalisme tidak memberi kemerdekaan penuh dalam sejarah pendirian Negara, yang ada hanyalah penghisapan. Ingin berdaulat, tidaklah bersentuhan dengan rayuan gombal politik kaum barat yang terbukti gagal. Papua harus diletakan dalam kultur luar dari arus pasar bebas yang serakah dan tak berperikemanusiaan. Jangan menghamba pada Amerika, Jangan Menghamba Pada Negara-negara maju yang hidup bila roda ekonominya hidup. Tetapi Papua itu hidup walaupun tanpa roda ekonomi. Ketergantungan pada pasar adalah tradisi luar yang tidak cocok bagi Papua. Maka itu, arah penyelesaian Papua, tuntas bila Papua dipandang terpisah dari cengkraman siapapun dan dominasi politik manapun. Merdeka!.

Arah Penyelesaian Papua Dari Masa Penjajakan Hingga Massa Pendudukan

Pelaut Spanyol yang menemukan pulau Papua, dalam benaknya, Papua sama seperti Penduduk yang menghuni Pulau Guinea di Afrika. Freeport memandanggnya sebagai ‘the largest above ground outcrop of base metal ore in the world’ yang diartikan sebagai tambang mineral luar biasa di dunia. Berlanjut pada perundingan-perundingan Papua oleh Belanda dan Indonesia, para Tokoh Nasionalis Indonesia pun berbeda pandangan tentang arah penyelesaian Papua. Atas dasar Papua merupakan negeri yang kaya raya sehingga harus dimasukan kedalam wilayah Negara baru, yaitu Indonesia. Klaim Papua wilayah bekas koloni Belanda, adalah suatu integritas tersendiri bagi kampanye-kampanye perebutan Papua oleh Sukarno.

Koloni Belanda, Jepang maupun Portugis juga memiliki cara yang sama dalam penyelesaian maupun kehendak untuk negeri ini diarahkan kemana. Mereka melakukan segala upaya, mulai dari pembukaan wilayah-wilayah terisolir, sampai dengan penjajakan daerah-daerah dan pendirian pos pemerintahan sebagai pusat pertahanan dan penguasaan. Belanda berhasil mendirikan sejumlah pos di beberapa wilayah Papua. Pendirian pos oleh Belanda ini kemudian menjadi pusat konsentrasi administrasi sejak jaman itu hingga sekarang.

Klimaks dari usaha-usaha penyelesaian masalah Papua terjadi ketika operasi pertambangan Freeport terancam akibat status politik wilayah ini tidak jelas. Rangkaian kamuflase sistematik dilancarkan. Laporan-laporan penemuan tambang bijih yang dilihat secara kasat mata inilah, membuat peran Amerika mulai Nampak dan menonjol dalam mengendalikan perseteruan politik antara Indonesia dengan Belanda. Untuk mempercepat proses perdamaian antara Indonesia dengan Belanda atas wilayah Papua, diselenggarakan tahapan perundingan hingga konferensi. Atas desakan untuk mempercepat pengoperasian Freeport, Amerika Serikat menjarah kewenangan badan dunia seperti PBB disaat itu untuk menyelenggarakan satu referendum yang sampai sekarang dianggap cacat hukum.

Belanda harus takluk dibawah keinginan Indonesia atas Papua. Dukungan AS terhadap Indonesia dilatarbelakangi oleh keinginan Sukarno yang ingin merebut Papua dan menjadikan wilayah ini sebagai basis sosialisme yang didukung sepenuhnya oleh Negara-negara blok timur pada perang dunia II. Rencana terselubung AS ini kemudian meleset seketika saat Sukarno menerapkan nasionalisasi bagi perusahaan non pribumi. Usaha kudeta terhadap sukarno mulai digagas dan berhasil menyingkirkan Sukarno dan digantikan oleh Suharto yang nota bene antek AS.

Suharto memulai langkahnya dengan baik. Kontrak Karya Freeporrt pertama ditandatangani pada Juli 1967 sebagai imbalan termahal kepada AS. Kontrak karya Freeport inilah, babak baru kran investasi asing merajalela di bumi Nusantara sampai ke Papua. Jadilah kenyataan pahit, status Penyelesaian Papua ditarik dari ukuran sejauh keinginan ekonomi negara-negara barat. Atas dasar kepentingan ekonomi semata yang sudah mengakar bagi upaya penyelesaian Papua, maka selanjutnya penyelesaian masalah Papua tidak bisa bebas dari unsur kepentingan ekonomi global.

Pasca penandatangan kontrak karya Freeport, wilayah Papua dipandang sebagai suatu wilayah pembangunan yang dijalankan dengan penguatan investasi dan kekerasan militer. Untuk mengamankan eksplorasi Freeport, Indonesia mengedepankan militerisasi dalam menjalankan pengamanan asset Amerika maupun pendudukan wilayah pelosok Papua. Konsentasi militer yang berlebihan inilah menimbulkan malapetaka kemanusiaan. Daerah Operasi Militer berlaku selama puluhan tahun lamanya menyebabkan rakyat Papua kehilangan jati diri sebagai manusia ciptaan Tuhan yang ada di Papua. Untuk mengamankan investasi Amerika di Papua, sejumlah stigma dan labelisasi diberikan kepada sejumlah gerakan Papua yang menolak penjajahan ekonomi dan sumber daya alam yang dilakukan oleh Negara-negara dibawah payung hukum Indonesia.

Stigma dan labelisasi ini semakin matang dengan adanya sebutan GPK dan Separatis bagi penduduk pribumi Papua. Sampai sekarang budaya stigmatisasi ini masih melekat di benak sebagian warga Indonesia. Labelisasi semacam itu bukanlah sebuah solusi penyelesaian Papua, tetapi menjadi boomerang bagi peminggiran rakyat Papua dari konteks pemilikan tanah sendiri. Doktrin kotor yang dilancarkan pemerintahan Suharto selama 30 lebih tahun inilah, membekas pada benak generasi orang Papua sampai sekarang belum dapat dihilangkan.

Alhasil, reformasi tahun 1998 di Indonesia, membuka arah demokrasi bagi penyelesaian masalah Papua. Kongres Rakyat Papua II digelar dan sukses menyatakan kehendak untuk pelurusan sejarah. Tim 100 dihadapkan kepada B.J. Habibie lalu ditolak keinginan merdaka. Abdurahman Wahid, Bapak segala bangsa, memulai langkah baru dengan menyelesaikan masalah Papua dari sudut budaya. Langkah Gusdur ini sedikit memberi ruang Indonesia dihati orang Papua. Lengsernya Gusdur dari puncak kekuasaan mengubah arah penyelesaian Papua dalam ketidakpastian.

Desain baru untuk penyelesaian masalah Papua kemudian digagas. Konsep Otonomi Khusus menjadi pedang pembangunan yang diharapkan berlaku sebagai solusi masalah Papua selama 25 tahun sejak diberlakukan dalam bentuk undang-undang. Konteks Otsus pun gagal menyambut suatu perubahan sejati untuk rakyat Papua. Kehadiran Otsus hanya menyuplai sejumlah dominasi pasar saja. Kepentingan rakyat Papua terpukul mundur diera otsus. Bahkan desain otsus memberi ruang yang begitu besar bagi laju eksploitasi Tanah Papua.

Gejolak rakyat Papua terus meningkat dari tahun ke tahun. Papua dianggap tidak lagi aman bagi investasi besar. Maka itulah diusahakan satu penyelesaian menyeluruh untuk pengamanan kepentingan ekonomi global di Papua. Frustasi atas keamanan di Papua terutama pasca penembakan terhadap Kelli Kwalik, Pemerintah memberikan mandat penyelesaian masalah Papua kepada mantan Wapres, M. Jusuf Kala.

Focus Group Discussion yang diselenggarakan KOMNASHAM 16 Oktober 2010 di Novotel Hotel Yogyakarta, hadir Ketua, Wakil Ketua I dan Staf KOMNASHAM bersama puluhan intelektual Papua yang berdomisili di Jogja. FGD menggali pemikiran konstruktif dalam upaya mencari solusi bagi penyelesaian masalah Papua. Nah, sambutan pembuka Ketua KOMNAS HAM, Ifdhal Kashim bahwa Komisi ini sudah menggandeng mantan Wapres, M. Jususf Kala untuk bersama mendorong upaya penyelesaian masalah Papua. Focus diskusi mengutarakan masalah Papua. Diantaranya kasus Freeport dan sejumlah pelanggaran HAM di Tanah Papua menjadi pedoman bersama untuk kebutuhan adanya Papua harus diangkat martabat dan harga dirinya. Mampukah mantan wapres yang punya pengalaman menyelesaikan konflik di Posos dan Aceh ini dapat membuat paradigma baru bagi upaya perdamaian di Papua…?. Freeport tunggu!

KOLOM KOMENTAR

PAPUAN PICTURE

Arkilaus Baho

FREEPORT PERUSAHAAN TERBURUK DI DUNIA

KOTAK PESAN